Sunday, September 28, 2014

Lulus SMP, mau ngapain saja?


Selama ini, di wintaos ketika anak sudah mulai beranjak dewasa, sekitar 15an tahun, entah sudah lulus SMP atau belum, biasanya mulai diarahkan untuk membantu perekonomian keluarga. Dengan cara bekerja . Menurut penuturan para orangtua di wintaos, anak-anak muda sekarang (mulai generasi 90 an) mulai jarang yang bersedia menekuni pekerjaan di kebun. pilihan pekerjaan bagi anak-anak muda di desa pada umumnya adalah bekerja di kota. Menjadi buruh pabrik, pekerja rumah tangga, penjaga toko, buruh bangunan, SPG, bekerja di home industry, babysitter, dan pekerjaan di sector informal lainnya. Bagi anak-anak muda masa kini, tidak banyak pilihan pekerjaan yang menarik di desa. Kalau memutuskan menetap dan bekerja di desa pilihan pekerjaan yang ada adalah seputar bertani. Realitanya hasil bertani dan menjadi buruh tani tidak banyak, penghasilan bertani sebulan tidak akan cukup untuk membeli HP atau kredit motor. Mereka juga ingin memiliki symbol-simbol moderenitas dan kekinian
Umunya setelah bekerja 2-3 tahun, dan telah mampu membeli beberapa barang berharga seperti hp, motor, atau kambing biasanya mereka pulang untuk menikah atau dinikahkan, terutama anak-anak perempuan. Rata-rata perempuan disini dinikahkan usia 15-18 tahun. Ketika anak-anak perempuan sudah menginjak remaja, terutama yang tidak memiliki kegiatan yang mengikat seperti bekerja atau sekolah, orangtua cenderung menikahkan mereka. Menikah muda selain karena tuntutan budaya juga sebagai upaya meringankan beban ekonomi keluarga. Orangtua akan malu jika memiliki anak gadis yang belum menikah diusia 20an. Berkonotasi tidak baik, Dianggap perawan tua. Dengan menikahkan anak, juga mengurangi beban ekonomi keluarga. Bagi anak-anak gadis yang belum mau dinikahkan cepat, biasanya mereka memilih jalan bekerja ke luar desa/kota. Menghindari supaya tidak ada pihak-pihak ‘menanyakan’ kesediaan untuk dinikahkan.
Rata-rata keinginan orangtua disini, anak-anak mereka bisa menjadi mandiri, berpenghasilan sesegera mungkin. Syukur-syukur jika mampu membantu orangtu dan mendukung perekonomian keluarga. Pernah suatu ketika ketika kami diskusi tentang respon orangtua atas keinginan anak-anak melanjutkan sekolah, karnati bercerita, Mamak pernah bilang, “ si nur kae gak sekolah, lulus SMP njur nyambut gawe ning pabrik, saiki wis iso nyicil motor” dan cerita karnati diiyakan dan disepakati oleh murni, marsini, arni, ani dll…bahwa mamak mereka juga berfikir hal yang sama. Para orangtua lebih senang ketika mereka bekerja dibanding sekolah. Sekolah bagi orangtua identik dengan biaya. Apalagi SMA, uang saku ke sekolah, biaya hidup, bayaran sekolah tiap bulannya, perlu banyak uang untuk meneruskan sekolah, hal ini sangat menakutkan orangtua. Beban ortu kian bertambah berat.
Tahun ini, murni, andri, arni, karnati, dan marsini lulus SMP.  Hanya marsini yang sudah mantab meneruskan ke SMA dan sudah mampu meyakinkan orangtua untuk mendukung keinginannya. Sedangkan yang lainnya masih Galau. Masih bingung menentukan jalan yang akan dipilih selepas SMP. Ada keinginan untuk melanjutkan sekolah formal SMA, tapi membayangkan akan menambah beban orangtua pastinya membuat mereka takut, belum lagi membayangkan beban pelajaran yang akan mereka tempuh selama 3 tahun, mereka takut tidak mampu memberikan hasil yang sepadan dengan apa yang telah dikeluarkan orangtua. Sementara masing-masing orangtua belum ada yang mendukung keinginan mereka.

Diskusi plus minus atas masing-masing pilihan?
Karnati, arni, andri dan murni masih galau menentukan masa depannya. Bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kegalauan ini harus dipecahkan,, dibahas dan dibicarakan secara dewasa. Aku mengajak mereka untuk mendiskusikan hal-hal yangmeresahkan dan pilihan-pilihan langkah masa depan mereka, lengkap dengan plus minus dan resiko nya.
Awalnya Kami melakukan identifikasi atas semua kemungkinan dan Pilihan-pilihan yang mungkin bisa terjadi masa depan, hasil identifikasi itu  :
1.       Melanjutkan ke SMK
2.       Melanjutkan ke SMA
3.       Menikah
4.       Bekerja di kota
5.       Bergabung di SP
6.       Menganggur di rumah
SP sebagai media belajar pengganti/alternative bagi anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah formal (SMA/SMK). Di SP anak-anak bisa belajar tentang entrepreneur,  Lifesklill dan leadership, sementara untuk pelajaran sekolah anakanak bisa mengambil kejar paket C

Proses diskusi berlangsung seperti kami mengobrol biasa. Anak-anak bebas berbicara, sementara aku membatasi diriku hanya melontarkan beberapa pertanyanyaan untuk memperjelas situasi. Aku membantu menuliskan hasil diskusi di kertas plano. Segala pendapat anak-anak aku tuliskan, sehingga mereka bisa membaca ulang dan memikirkannya. Obrolan dan Diskusi ini berlangsung sekitar 3 jam. Dari diskusi ini, menurut mereka membantu mengurangi kebingungan atas keputusan akan masa depan mereka.
Hasil diskusi :
1.       Sekolah sma/smk
Menurut anak-anak sekolah formal SMA dan SMK kabar baiknya  adalah : Dapat ketrampilan dan ilmu, dapat izasah, dapat teman(konco), wawasan lebih luas dan bisa menunda pernikahan. Sedangkan hal kurang baiknya : perlu biaya besar (untuk transportrasi, kos (jika indekos), biaya spp sekolah, iuran sekolah, buku dll), meninggalkan dusun, jauh dari orangtua (jika nge kos), iklim wirausaha di sekolah formal kurang dibangun (buktinya, tidak banyak lulusan SMK yang mampu berwirausaha sendiri, berangkat pagi-pulang sore, tidak ada waktu luang untuk mengerjakan hal lain).
2.       Lulus SMP, langsung Kerja
Ketika pilihan jatuh pada bekerja setelah lulus SMP, hal enaknya adalah mendapat uang dan tidak berfikir tentang pelajaran :D sedangkan hal gakenaknya adalah capek, dan pilihan pekerjaan yang dilakukan, karena lulusan SMP, tidak jauh dari buruh, missal penjaga toko, bakpia, babysitter, pekerja rumah tangga. Setelah bekerja 2-5 tahun kemudian dipanggil pulang untuk dinikahkan, punya anak, saat itu tidak memiliki ketrampilan dan ilmu yang memadahi untuk membuka usaha (tidak bisa menghasilkan uang dan bergantung pada suami)
3.       Menikah
Menurut anak-anak, saat ini, pilihan menikah, bukanlah hal yang menarik bagi mereka, kolom hal (+ ) untuk pilihan menikah tidak ada isinya (kosong). Sementara hal (- ) ada banyak : belum siap menikah, belum punya keahlian menjadi ibu rumah tangga, terkekang dan tidak bebas, organ reproduksi belum siap.


4.       Pengangguran.
Menurut anak-anak, menganggur hal enaknya, menyenangkan dan tidak mikir apa-apa, hal kurang enaknya : sering diseneni (dimarahi) orangtua, disuruh-suruh,  tidak punya penghasilan, sebagai bahan gossip (omongan)
5.       SP
Hal menyenangkannya : gratis, punya bekal ketrampilan, tahu cara mengawali usaha, tidak keluar kampong, dapat penghasilan dari usaha yang dirintis dan dijalankan, bisa juga ikut paket C, bisa ikut BLK
Di akhir diskusi marsini semakin mantab untuk menuju SMA. Pilihan marsini jatuh ke SMA, dia ingin sekolah formal di SMA untuk mendapatkan pelajaran sekolah formalnya, sementara untuk pelajaran tentang wirausaha, dan keinginannya memperdalam ketrampilan menulis dia akan belajar di SP.
Karnati, dia masih ingin sekolah dan tidak ingin bekerja dulu. Namun beda dengan marsini, karnati ingin belajar di SMK, dengan pertimbangan, karnati ingin memperdalam ilmu boga dan berharap kelak bisa membuka usaha atau bekerja di bidang jasa boga. Hal yang masih dirisaukan karnati adalah dukungan orangtua dan keluarga, hanya mamaknya yang mendukung keinginannya, dia masih perlu meyakinkan bapak dan kakak-kakanya untuk rencananya ini.
Andri, arni dan murni diakhir diskusi, sampai saat ini orangtua mereka belum mendukung keinginan mereka untuk melanjutkan ke sekolah formal, setelah mempertimbangkan dari banyak sisi, mereka kompak memutuskan untuk memilih SP sebagai media belajar selepas SMP.
Dalam diskusi kami juga membahas tentang peluang kerja part time/kerja paruh waktu atau bekerja paruh waktu di luar jam belajar di sekolah formal maupun waktu belajar di SP. Kerja paruh waktu ini sangat mungkin dilakukan untuk solusi pemenuhan biaya sekolah formal (untuk yang sekolah formal), juga untuk mendukung pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Jika mempunyai keinginan dan kemauan yang kuat, Kerja paruh waktu ini sangat mungkin dilakukan. Kerja paruh waktu bisa dilakukan dengan mulai membuka usaha sendiri  ataupun kerja pada perusahaan yang bersedia mengakomodir situasi mereka. Misalnya, jika anak-anak minat sekolah formal, sepulang sekolah (diluar waktusekolah) mereka bisa mengerjakan aneka kerajinan (aksesoris batik) yang merupakan bagian dari divisi di Butik Larasati Batik. Selama ini di BLB memproduksi aneka aksesoris batik, yang dikerjakan oleh ibu-ibu dan remaja sekitar, sehingga anak-anak di wintaos jika berminat bisa menjadi bagian dari proses kerja ini. Dengan system pengerjaan di rumah masing-masing dan setiap anak diberikan satu item produk yang bisa mereka bawa pulang, pda waktu dan jadwal yang telah disepakati (saat pertemuan rutin SP) mereka menyetor hasil kerja mereka dan berhak mendapatkan upah/gaji. Upah dihitung dari hasil kerja yang dihasilkan (produktivitas). Untuk pekerja partime  Jika tergolong rajin dan tekun rata-rata seminggu bisa mendapat 50-100rb/minggu.
Kerja paruh waktu ini memang bisa menjadi salah satu solusi masalah keuangan anak-anak, Tapi pilihan ini juga punya resiko. Resikonya adalah capek dan harus bisa mengatur waktu dengan baik. Jika tidak bisa mengatur waktu dengan baik tidak akan bisa berjalan.

Di akhir diskusi, saya meminta anak-anak mengiskusikan hasil diskusi kami ini dengan keluarga masing-masing di rumah. Bicara dengan ayah dan ibu serta kakak ataupun anggota keluarga lain. 

0 comments:

Post a Comment