Lulus SMP, mau ngapain saja?
Selama ini, di wintaos ketika anak sudah mulai beranjak
dewasa, sekitar 15an tahun, entah sudah lulus SMP atau belum, biasanya mulai
diarahkan untuk membantu perekonomian keluarga. Dengan cara bekerja . Menurut
penuturan para orangtua di wintaos, anak-anak muda sekarang (mulai generasi 90
an) mulai jarang yang bersedia menekuni pekerjaan di kebun. pilihan pekerjaan
bagi anak-anak muda di desa pada umumnya adalah bekerja di kota. Menjadi buruh
pabrik, pekerja rumah tangga, penjaga toko, buruh bangunan, SPG, bekerja di
home industry, babysitter, dan pekerjaan di sector informal lainnya. Bagi
anak-anak muda masa kini, tidak banyak pilihan pekerjaan yang menarik di desa.
Kalau memutuskan menetap dan bekerja di desa pilihan pekerjaan yang ada adalah
seputar bertani. Realitanya hasil bertani dan menjadi buruh tani tidak banyak,
penghasilan bertani sebulan tidak akan cukup untuk membeli HP atau kredit motor.
Mereka juga ingin memiliki symbol-simbol moderenitas dan kekinian
Umunya setelah bekerja 2-3 tahun, dan telah mampu membeli
beberapa barang berharga seperti hp, motor, atau kambing biasanya mereka pulang
untuk menikah atau dinikahkan, terutama anak-anak perempuan. Rata-rata
perempuan disini dinikahkan usia 15-18 tahun. Ketika anak-anak perempuan sudah
menginjak remaja, terutama yang tidak memiliki kegiatan yang mengikat seperti
bekerja atau sekolah, orangtua cenderung menikahkan mereka. Menikah muda selain
karena tuntutan budaya juga sebagai upaya meringankan beban ekonomi keluarga. Orangtua
akan malu jika memiliki anak gadis yang belum menikah diusia 20an. Berkonotasi
tidak baik, Dianggap perawan tua. Dengan menikahkan anak, juga mengurangi beban
ekonomi keluarga. Bagi anak-anak gadis yang belum mau dinikahkan cepat,
biasanya mereka memilih jalan bekerja ke luar desa/kota. Menghindari supaya
tidak ada pihak-pihak ‘menanyakan’ kesediaan untuk dinikahkan.
Rata-rata keinginan orangtua disini, anak-anak mereka bisa
menjadi mandiri, berpenghasilan sesegera mungkin. Syukur-syukur jika mampu
membantu orangtu dan mendukung perekonomian keluarga. Pernah suatu ketika
ketika kami diskusi tentang respon orangtua atas keinginan anak-anak
melanjutkan sekolah, karnati bercerita, Mamak pernah bilang, “ si nur kae gak
sekolah, lulus SMP njur nyambut gawe ning pabrik, saiki wis iso nyicil motor”
dan cerita karnati diiyakan dan disepakati oleh murni, marsini, arni, ani
dll…bahwa mamak mereka juga berfikir hal yang sama. Para orangtua lebih senang
ketika mereka bekerja dibanding sekolah. Sekolah bagi orangtua identik dengan
biaya. Apalagi SMA, uang saku ke sekolah, biaya hidup, bayaran sekolah tiap
bulannya, perlu banyak uang untuk meneruskan sekolah, hal ini sangat menakutkan
orangtua. Beban ortu kian bertambah berat.
Tahun ini, murni, andri, arni, karnati, dan marsini lulus
SMP. Hanya marsini yang sudah mantab
meneruskan ke SMA dan sudah mampu meyakinkan orangtua untuk mendukung
keinginannya. Sedangkan yang lainnya masih Galau. Masih bingung menentukan
jalan yang akan dipilih selepas SMP. Ada keinginan untuk melanjutkan sekolah
formal SMA, tapi membayangkan akan menambah beban orangtua pastinya membuat
mereka takut, belum lagi membayangkan beban pelajaran yang akan mereka tempuh
selama 3 tahun, mereka takut tidak mampu memberikan hasil yang sepadan dengan
apa yang telah dikeluarkan orangtua. Sementara masing-masing orangtua belum ada
yang mendukung keinginan mereka.
Diskusi plus minus atas masing-masing pilihan?
Karnati, arni, andri dan murni masih galau menentukan masa
depannya. Bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Kegalauan ini harus
dipecahkan,, dibahas dan dibicarakan secara dewasa. Aku mengajak mereka untuk
mendiskusikan hal-hal yangmeresahkan dan pilihan-pilihan langkah masa depan
mereka, lengkap dengan plus minus dan resiko nya.
Awalnya Kami melakukan identifikasi atas semua kemungkinan
dan Pilihan-pilihan yang mungkin bisa terjadi masa depan, hasil identifikasi
itu :
1.
Melanjutkan ke SMK
2.
Melanjutkan ke SMA
3.
Menikah
4.
Bekerja di kota
5.
Bergabung di SP
6.
Menganggur di rumah
SP sebagai media belajar pengganti/alternative bagi
anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah formal (SMA/SMK). Di SP anak-anak bisa
belajar tentang entrepreneur, Lifesklill
dan leadership, sementara untuk pelajaran sekolah anakanak bisa mengambil kejar
paket C
Proses diskusi berlangsung seperti kami mengobrol biasa.
Anak-anak bebas berbicara, sementara aku membatasi diriku hanya melontarkan
beberapa pertanyanyaan untuk memperjelas situasi. Aku membantu menuliskan hasil
diskusi di kertas plano. Segala pendapat anak-anak aku tuliskan, sehingga
mereka bisa membaca ulang dan memikirkannya. Obrolan dan Diskusi ini
berlangsung sekitar 3 jam. Dari diskusi ini, menurut mereka membantu mengurangi
kebingungan atas keputusan akan masa depan mereka.
Hasil diskusi :
1.
Sekolah sma/smk
Menurut anak-anak sekolah formal SMA dan SMK kabar baiknya adalah : Dapat ketrampilan dan ilmu, dapat
izasah, dapat teman(konco), wawasan lebih luas dan bisa menunda pernikahan.
Sedangkan hal kurang baiknya : perlu biaya besar (untuk transportrasi, kos
(jika indekos), biaya spp sekolah, iuran sekolah, buku dll), meninggalkan
dusun, jauh dari orangtua (jika nge kos), iklim wirausaha di sekolah formal
kurang dibangun (buktinya, tidak banyak lulusan SMK yang mampu berwirausaha
sendiri, berangkat pagi-pulang sore, tidak ada waktu luang untuk mengerjakan
hal lain).
2.
Lulus SMP, langsung Kerja
Ketika pilihan jatuh pada bekerja setelah lulus SMP, hal
enaknya adalah mendapat uang dan tidak berfikir tentang pelajaran :D sedangkan
hal gakenaknya adalah capek, dan pilihan pekerjaan yang dilakukan, karena
lulusan SMP, tidak jauh dari buruh, missal penjaga toko, bakpia, babysitter,
pekerja rumah tangga. Setelah bekerja 2-5 tahun kemudian dipanggil pulang untuk
dinikahkan, punya anak, saat itu tidak memiliki ketrampilan dan ilmu yang
memadahi untuk membuka usaha (tidak bisa menghasilkan uang dan bergantung pada
suami)
3.
Menikah
Menurut anak-anak, saat ini, pilihan menikah, bukanlah hal
yang menarik bagi mereka, kolom hal (+ ) untuk pilihan menikah tidak ada isinya
(kosong). Sementara hal (- ) ada banyak : belum siap menikah, belum punya
keahlian menjadi ibu rumah tangga, terkekang dan tidak bebas, organ reproduksi
belum siap.
4.
Pengangguran.
Menurut anak-anak, menganggur hal enaknya, menyenangkan dan
tidak mikir apa-apa, hal kurang enaknya : sering diseneni (dimarahi) orangtua,
disuruh-suruh, tidak punya penghasilan,
sebagai bahan gossip (omongan)
5.
SP
Hal menyenangkannya : gratis, punya bekal ketrampilan, tahu
cara mengawali usaha, tidak keluar kampong, dapat penghasilan dari usaha yang
dirintis dan dijalankan, bisa juga ikut paket C, bisa ikut BLK
Di akhir diskusi marsini semakin mantab untuk menuju SMA.
Pilihan marsini jatuh ke SMA, dia ingin sekolah formal di SMA untuk mendapatkan
pelajaran sekolah formalnya, sementara untuk pelajaran tentang wirausaha, dan
keinginannya memperdalam ketrampilan menulis dia akan belajar di SP.
Karnati, dia masih ingin sekolah dan tidak ingin bekerja
dulu. Namun beda dengan marsini, karnati ingin belajar di SMK, dengan
pertimbangan, karnati ingin memperdalam ilmu boga dan berharap kelak bisa
membuka usaha atau bekerja di bidang jasa boga. Hal yang masih dirisaukan
karnati adalah dukungan orangtua dan keluarga, hanya mamaknya yang mendukung
keinginannya, dia masih perlu meyakinkan bapak dan kakak-kakanya untuk
rencananya ini.
Andri, arni dan murni diakhir diskusi, sampai saat ini
orangtua mereka belum mendukung keinginan mereka untuk melanjutkan ke sekolah
formal, setelah mempertimbangkan dari banyak sisi, mereka kompak memutuskan
untuk memilih SP sebagai media belajar selepas SMP.
Dalam diskusi kami juga membahas tentang peluang kerja part
time/kerja paruh waktu atau bekerja paruh waktu di luar jam belajar di sekolah
formal maupun waktu belajar di SP. Kerja paruh waktu ini sangat mungkin dilakukan
untuk solusi pemenuhan biaya sekolah formal (untuk yang sekolah formal), juga
untuk mendukung pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Jika mempunyai keinginan
dan kemauan yang kuat, Kerja paruh waktu ini sangat mungkin dilakukan. Kerja
paruh waktu bisa dilakukan dengan mulai membuka usaha sendiri ataupun kerja pada perusahaan yang bersedia
mengakomodir situasi mereka. Misalnya, jika anak-anak minat sekolah formal,
sepulang sekolah (diluar waktusekolah) mereka bisa mengerjakan aneka kerajinan
(aksesoris batik) yang merupakan bagian dari divisi di Butik Larasati Batik.
Selama ini di BLB memproduksi aneka aksesoris batik, yang dikerjakan oleh
ibu-ibu dan remaja sekitar, sehingga anak-anak di wintaos jika berminat bisa
menjadi bagian dari proses kerja ini. Dengan system pengerjaan di rumah
masing-masing dan setiap anak diberikan satu item produk yang bisa mereka bawa
pulang, pda waktu dan jadwal yang telah disepakati (saat pertemuan rutin SP)
mereka menyetor hasil kerja mereka dan berhak mendapatkan upah/gaji. Upah
dihitung dari hasil kerja yang dihasilkan (produktivitas). Untuk pekerja
partime Jika tergolong rajin dan tekun
rata-rata seminggu bisa mendapat 50-100rb/minggu.
Kerja paruh waktu ini memang bisa menjadi salah satu solusi
masalah keuangan anak-anak, Tapi pilihan ini juga punya resiko. Resikonya
adalah capek dan harus bisa mengatur waktu dengan baik. Jika tidak bisa
mengatur waktu dengan baik tidak akan bisa berjalan.
Di akhir diskusi, saya meminta anak-anak mengiskusikan hasil
diskusi kami ini dengan keluarga masing-masing di rumah. Bicara dengan ayah dan
ibu serta kakak ataupun anggota keluarga lain.
0 comments:
Post a Comment