Mengorganisir: Memanggil Cita Rasa Ndeso
Memanggil Cita
Rasa Ndeso
(Workshop,
Diskusi, Bazar Makanan ala nDeso dan Pasar Tani)
Dusun WIntaos,
Desa Girimulya, Kecamatan Panggang-Gunung Kidul
7-8 Mei 2016
by: Diah Widuretno
Persiapan
Pertemuan 1; Mengorganisasi awal
Keputusan
penyelenggaran kegiatan Bazar Memanggil Cita Rasa Ndeso tepat sebulan sebelum
Hari H dilangsungkan. Mengingat waktu ku di awal April s.d 25 April tersita
untuk persiapan dan pelaksanaan keikutsertaan Larasatibatik di INACRAFT,
otomatis saya butuh kerjasama yang solid dan prima dari anak-anak SP di luar waktu
kerja ku untuk Larasatibatik. 10 April, aku segera mengumpulkan anak-anak SP
untuk mulai mulai membahas persiapan acara ini dengan mengidentifikasi
pekerjaan yang harus segera dilakukan. Anak-anak SP yang hadir saat itu: Murni,
Oki, Livia, Hanan, Haryanti, Wulan, Hesti, Lastri dan Windar. Saya, agak
suprises dengan kehadiran Hesti, Lastri dan Windar setelah 3 tahun lebih mereka
non aktif dari kegiatan di SP. Tiga tahun terakhir mereka sekolah dan ngekos di
Kota Jogja dan Wonosari, jarang berada di Wintaos. Kini setelah mereka bertiga
lulus SMK, mereka ‘pulang’, mau terlibat dan bekerjasama dengan anak SP lain
untuk kegiatan ini.
Semua anak yang hadir saat itu bersepakat mau bekerjasama
melangsungkan rangkaian kegiatan bazar Memanggil Citarasa Ndeso. Kami segera
mengidentifikasi hal-hal yang perlu segera dikerjakan. Mulai dari:
1.
Menghubungi dan berkoordinasi
dengan Pak dan Bu Dukuh Wintaos,
2.
Persiapan peralatan, seperti
deklit/iyu-iyup, umbul-umbul dll,
3.
Persiapan dan pengorganisasian kelompok
ibu-ibu stand masak,
4.
Persiapan dan pengorganisiran
stand hasil bumi,
5.
Persiapan stand alat-alat
memasak tradisional,
6.
Promosi dan pendaftaran
peserta,
7.
Keuangan,
8.
Homestay untuk tamu menginap,
9.
Workshop membuat tempe dan
diskusi para tamu menginap,
10.
Stand Pameran Foto kegiatan SP.
Hal yang paling
banyak menyita diskusi kami adalah bahasan tentang iyup-iyup/tenda untuk acara. Kami membayangkan, banyak orang yang
akan datang dan terlibat acara ini, butuh tempat bernaung seperti tenda atau
semacamnya, melindungi panas dan hujan. Kami mulai mendiskusikan iyup-iyup atau atap apa yang paling
murah biayanya. Hesti mengusulkan seng aja, karena tiap RT punya seng yang
biasanya dipakai untuk hajatan. Jika seng se-dusun dikumpul pasti kita gak butuh
tenda. Tapi lastri mengingatkan, “Kalau pakai seng, mau pakai tiang apa? Kayu
atau bamboo, kan gak bisa gratis, dapat dari mana? Kalau hajatan biasanya yang
punya hajat keluar uang untuk beli bamboo atau kayu, tapi kalau kita kan gak mungkin
beli kayu/bambu”. Murni usul memakai deklit saja. Yang lain saling menimpali,
jika untuk menaungi seluruh lapangan voley berarti butuh banyak deklit, dan
deklit harus dibeli, juga kayu penyangganya. “Mending ngganggo tenda wae” kata Oki. Saya bertanya, kira-kira
berapa harga sewa tenda? Lastri bilang, waktu acara di rumahnya kemarin, sewa
tenda 500 ribu, tapi gak seluas lapangan voley ini. Murni, mengusulkan, “Gini aja mba, kita cari
info dulu, kira-kira berapa harga sewa tenda untuk seluas lapangan ini, dan kita
akan berusaha nego harganya, ini kan juga
untuk keperluan warga. “Oh ya, yen
tendane nyewo, entuk duwik soko ngendi?” Tanya lastri.
Aku mengajak
mereka membahas keuangan. Salah satu sumber keuangan kita dari homestay/tamu
yang menginap. Kita hitung, berapa harga menginap per orang? Selanjutnya Kami
berhitung, untuk fasilitas: menginap semalam, snack, makan malam, workshop
tempe dan sarapan pagi. Berapa ya harga yang pantas? Kami bersama-sama hitung. aku mengusulkan di angka 80 ribu, dengan
rincian, untuk 50 ribu diberikan pada rumah penginapan, tiap rumah tersebut
sudah termasuk menyediakan makan malam dan makan pagi (sarapan), sedangkan yang
30 ribu untuk beli koro/benguk workshop, honor tutor dan iuran sewa tenda.
Hesti menyahut, kalo untuk rumah-rumah homestay nanti menyesuaikan saja gak papa
mba, misalnya jika dana untuk sewa tenda kurang, maka jatah per rumah bisa dikurangi
menjadi 40 ribu.Yang lain juga sepakat di angka 80 ribu. Kami lanjutkan membahas
kriteria untuk rumah homestay (rumah untuk menginap). Kami sepakat rumah tidak
harus bagus, yang penting harus bersih dan ada kamar mandi juga air. Sebaiknya
jika bisa tidurnya di kamar, tapi jika kamar tidak cukup, bisa juga di ruang
tamu asalkan dikasih alas tidur yang hangat dan agak empuk. Kami juga
mengidentifikasi rumah-rumah yang siap dijadikan homestay, juga menghitung
kapasitas dan kuota yang peserta yang bisa kami fasilitasi menginap. Kami
menargetkan 30-35 orang untuk menginap.
Lalu Murni juga
menyahut, kalo stand-stand dimintai iuran japren
gimana mba? Bisa untuk menambah iuran sewa tenda. Misal 1 stand iuran 3-5 ribu,
sepertinya mereka gak keberatan. Lasti menyahut juga, iya seharusnya semua
stand iuran , nanti dirembug saat pertemuan ibu-ibu, “tak kiro yen mung iuran 5 ewu per stand ora kabotan, ibu-ibu mesti
gelem lah..”
Aku mengusulkan,
untuk stand hasil bumi dan alat alat masak tradisional itu sistemnya konsinyasi
(petani titip jual), jadi kita gak kulakan. Kalo bisa kalian juga ada bagi
hasil misal 5-10% dari harga jual. Misalnya
beras dari yang titip harga 11.000, kita jual 11.500, sayuran missal dari yang
titip 5.000, kita jual 5.500, dst. Uang pendapatan penjualan hasil bumi dan
alat-alat tradisonal langsung diberikan ke
para petani penitip setelah bazaar selesai dan keuntungan hasil bumi dan
alat-alat masak tradisional bisa kita pakai juga untuk tambahan sewa tenda dan
keperluan lainnya, misalnya untuk ganti air
mamake Murni yang kepakai untuk masak di tiap stand, alat tulis, ngeprint
foto, dll. Semua anak mengiyakan, “bener
mbak”.
Berarti kita
harus promosi gencar, supaya orang pada mau nginep, sahut Livia dan Oki. Semakin
banyak yang menginap berarti kita bisa dapat tambahan dana, terutama untuk bayar
sewa tenda. Pertemuan awal diakhiri dengan pembagian tugas masing-masing orang.
Pertemuan 2;
Pemantapan, membagi tugas
Pertemuan dengan
panitia (organizer acara) kelompok anak-anak dilanjutkan hari minggu, 17 April
2016. Pada pertemuan ini hadir Oki, Murni, Hesti, Lastri, Livia, Haryanti dan Wulan.
Agenda Pertemuan kali ini mempertajam pertemuan pertama, masih membahas tenda,
juga jumlah tamu yang sudah mendaftar menginap. Sampai dengan 17 April sudah
ada 8 tamu yang mendaftar. Untuk atap kami mantap memutuskan menyewa tenda.
Hesti menginfokan 1 tenda sewanya 300 ribu, dan untuk sepanjang lapangan voley
kita butuh 3 tenda, berarti untuk tenda kita butuh 900 ribu ya? Wah… terlalu
mahal pikirku, aku mengusulkan kita harus cari tempat persewaan yang lebih
murah atau kalau gak ada yang murah kita lebih baik beli deklit aja, nanti
deklitnya bisa jadi inventaris, bisa dipakai kapan-kapan lagi. Tapi murni
menyahut, “Biar kami coba dulu cari yang lebih murah mba, memang sayang uang
900 ribu hanya untuk sewa tenda, harus dapat yang lebih murah dari itu, dana
kita gak bakal cukup”.
Selanjutnya, kami
membahas rumah-rumah yang siap untuk jadi penginapan. Rumah yang menyatakan
siap untuk menginap tamu: Murni, Mbak Rutini, Hesti, Windar, Livia, dan Hanan. Masing-masing
rumah siap menerima 5 orang tamu. Kecuali mba Rutini siap menerima 10 tamu
karena punya 3 kamar.
Kami bersepakat
untuk menggencarkan promosi, agar mencapai target 30 tamu yang ikut menginap.
karena semua anak gak ada yang memiliki akses internet, sehingga promosi acara
ini sangat bergantung padaku.
Untuk workshop
tempe, murni menyatakan siap mengajukan diri sebagai tutor. Murni juga siap
menyediakan bahan baku dan peralatan untuk workshop tempe. Mulai dari bahan
baku (koro/benguk), ragi, daun pisang dan daun jati pembungkus, dhebog pengikat, juga semua detail yang
dibutuhkan. Pertemuan ini diakhiri dengan mempertegas PR-PR yang harus
dilakukan untuk persiapan acara:
1.
Menggencarkan informasi terkait
acara ini, mendatangkan tamu sebanyak mungkin, dan memaksimalkan yang bisa
menginap
2.
Mencari info tenda, harga tenda
yang termurah
3.
Mulai mengorganisir siapa saja
yang akan menitipkan hasil bumi
4.
Mengundang ibu-ibu pengisi
stand makanan untuk hadir di pertemuan tanggal 26 april 2016
5.
Persiapan homestay
6.
Persiapan bahan dan alat untuk
workshop tempe
Murni banyak
berperan banyak dalam mencari info tenda, mendata petani yang mau menitipkan
hasil bumi, mencari mitra konsinyasi untuk alat-alat masak tradisional, dan
menyiapkan bahan dan alat untuk workshop tempe
Sementara Hesti
mengkoordinir rumah-rumah yang akan menjadi homestay. Lastri ditunjuk menjadi
bendahara, yang mencatat pengeluaran dan pemasukan uang. Lastri dan hesti
membantu murni untuk mendata hasil bumi dan mencari mitra konsinyasi alat
memasak tradisional
Oki yang
diserahi tugas untuk mendata tamu yang akan datang dan bertanggungjawab pada
persiapan peralatan, misalnya tenda, umbul-umbul, tikar, soundsistem dll
Sementara selama
seminggu setelah pertemuan ini, Komunikasi dan diskusi untuk menguatkan proses
persiapan terus dilangsungkan, baik dengan anak-anak SP, juga dengan
teman-teman dari komunitas Pasar Sasen, sebagai bagian penggagas kegiatan acara
ini terus dilakukan melalui SMS, Medsos, WA, mengingat saya mengurus kesertaan usaha
saya di INACRAFT, Jakarta. Tapi saya sudah meniatkan tetap menggencarkan share
informasi terkait acara ini via medsos, untuk mengundang sebanyak mungkin peserta.
Pertemuan 3; Kelompok Ibu-ibu pun siap mendukung
Sore itu, Jam
16.16 WIB, Selasa, 26 April 2016, suasana diskusi yang riuh dan hangat
pertemuan kelompok ibu-ibu Dusun Wintaos, Ada perwakilan 7 Rukun Tetangga (RT)
yang hadir di pertemuan RT, tiap RT diwakili 3- 6 orang perempuan. Ibu Dukuh
juga menghadiri pertemuan ini. Pertemuan diawali dengan diskusi mengapa tujuan acara ini dilangsungkan. Saya menjelaskan bahwa acara ini bermaksud
untuk :
- 1. Menguatkan perekonomian local melalui peguatkan usaha-usaha kecil berbasis pertanian/pangan yang dipelopori oleh kelompok perempuan/ibu-ibu
- 2. Melestarikan pangan local Wintaos, Girimulya selaku kekayaan dan potensi desa
- 3. Belajar bersama membiasakan memasak makanan sehat
- 4. Menguatkan semangat anak-anak muda untuk bangga dan mantab menjadi petani dan produsen pangan, guna memenuhi kebutuhan pangan desa dan Negara
Pertemuan cukup
meriah, hampir semua orang diberikan kesempatan berbicara mengungkapkan
maksudnya. Pertemuan ditutup setelah memproduksi beberapa kesepakatan :
- 1. Selama kegiatan ini, kami semua bersepakat untuk membangun komunikasi yang sehat, mengutarakan semua keresahan, meminimalisir grundelan dibelakang dan berterus terang
- 2. semua orang (semua kelompok perwakilan RT) bersepakat bekerja sama melangsungkan bazar memanggil citarasa ndeso
- 3. semua kelompok bersedia iuran untuk menyewa tenda, sebagai peneduh lokasi acara. Tiap RT bersedia iuran Rp. 6.000,-
- 4. semua kelompok bersepakat untuk membawa dan menyiapkan secara mandiri segala bahan-bahan untuk memasak makanan sesuai menu yang disepakati, baik itu bahan baku maupun segala bumbu yang dibutuhkan
- 5. semua kelompok bersepakat untuk menyiapkan dan membawa secara mandiri segala peralatan lengkap untuk memasak, peralatan penyajian makanan untuk pengunjung/customer dan menyiapkan meja untuk display produk dan makanan. Disepakati juga untuk tidak menggunakan kompor, tapi menggunakan tungku/emput dengan bahan bakar boleh arang, blarak, kayu maupun sekam
- 6. semua kelompok bersepakat dengan sistem undian menu dan semua juga sudah menerima menu yang akan jadi tema masakan tiap kelompok.
- 7. Semua hasil , termasuk hasil penjualan yang diperoleh selama bazar sepenuhnya menjadi hak kelompok atau RT
- 8. Bahan –bahan masakan diutamakan dari hasil kebun sendiri.
- 9. Kami bersepakat hanya memproduksi makanan sehat dan proses memasak TIDAK Menggunakan 4P (Pemanis Buatan, Pewarna Sintetis, Penguat Rasa, Pengawet)
Ibu-ibu meminta
untuk diadakan pertemuan lagi sebelum tanggal 8, untuk membahas lebih detil
hal-hal yang belum bisa diputuskan pada pertemuan kali ini, diantaranya tentang
kesepakatan harga jual tiap menu, kostum, uang iuran, menu, peralatan yang
harus dibawa
Secara umum, Ibu-ibu
tampak bersemangat, sebagian mengungkapkan ini merupakan kali pertama menjual
makanan khas desa mereka ke orang luar, beberapa dari mereka juga kawatir jika
makanan yang mereka masak tidak disukai dan tidak laku. Saya meyakinkan, kita sama-sama
berusaha semampu kita. Kita akan sama-sama persiapkan alat dan bahan secara
maksimal dan memasak dengan penuh cinta, saya juga akan berupaya mendatangkan dan
mengajak tamu sebanyak yang saya bisa. Dalam hati sebenarnya saya juga punya
kekawatiran tentang tamu yang akan datang. Khawatir jika jumlah tamu tidak bisa
memenuhi harapan ibu-ibu. Kami memutuskan pertemuan lanjutan akan diadakan
tanggal 4 Mei 2016 di balai dusun jam 2
sore.
Hari-hari menjelang hari H
Hari-hari
setelah pertemuan dengan ibu ibu Saya semakin deg-degan dan khawatir. khawatir jika
jumlah tamu yang hadir hanya sedikit dan mengecewakan ibu-ibu. Kekhawatiran
saya cukup beralasan, mengingat dusun Wintaos/DesaGirimulya bukanlah destinasi
wisata, bukan pula wilayah yang biasa dikenal dan dikunjungi public, lokasi
yang jauh dari perkotaan. Apalagi tidak adanya transportrasi umum menuju
lokasi, dan akses ke lokasi hanya bisa dengan kendaraan pribadi. Apakah
orang-orang mau ya berkunjung ke lokasi, yang jauh dari kota, dengan kontur
jalan naik turun, berkelok-kelok, daya tempuh jauh dan berpotensi membuat mabuk
darat?
Tapi saya
mencoba melawan kekhawatiran dan bertekad untuk mengoptimalkan segala daya
untuk mempromosikan dan membagikan informasi, terkait acara in. Agak terhibur
karena banyak teman-teman yang mau membantu secara sukarela (suka dan rela)
membagikan info terkait acara in, terutama mas Bimo, Mbak Imelda dari Pasar
Sasen, juga Teh Nissa Garut yang begitu gencar bahu membahu dengan saya saling
membagikan info di media sosial.
Hari ke hari
mendekati hari H, kekhawatiran saya mulai terkikis, sedikit demi sedikit mulai
ada yang mendaftar untuk kegiatan. Tiap hari saya meng-update jumlah tamu
menginap dan yang datang langsung.
Pengumuman dan informasi terus digeber di medsos. Saya mengetuk sebanyak
teman yang bisa saya jangkau, saya undang untuk datang.
Pertemuan Komunitas Pasar Sasen: Gladi Resik
Tanggal 1 Mei,
diadakan pertemuan komunitas Pasar Sasen di Wintaos dengan agenda Gladi Resik
persiapan acara tanggal 8 Mei: Memanggil Cita Rasa Ndeso. Yang hadir saat itu
mas Bimo, mbak Imel, pak Hary, bu Wiwik, mas Kuncoro, mas Rudi, mas Noel, mas Agung
Satria, mbak Citra, mbak Retno. Kami membahas satu persatu persiapan. Mulai dari jumlah peserta yang telah
mendaftar juga persiapan acara, juga teknis lainnya. Jumlah peserta menginap hingga
tanggal 1 Mei ada sekitar 25 orang yang mendaftar, dan sekitar 40- an orang
yang telah konfirmasi datang langsung tanpa menginap. Waktu tinggal seminggu
lagi, semua anggota pasar sasen berjanji untuk membantu promosi acara melalui
media social masing-masing (FB maupun IG).
Di pertemuan
ini, Murni, Lastri, Windar, Livia juga saya bergantian menjelaskan tentang
persiapan stand makanan, gambaran menu yang akan dimasak, juga system serta
kesepakatan yang kami bangun dengan ibu-ibu. Kami juga menjelaskan tentang
kesediaan ibu-ibu menyiapkan bahan dan alat secara mandiri, serta iuran tiap
kelompok untuk membangun tenda. Murni juga menjelaskan tentang rumah-rumah yang
telah siap untuk rumah inap (homestay), juga persiapan workshop tempe. Rencana kebutuhan keuangan dan solusi terkait
keuangan dijelaskan oleh Lastri.
Saat membahas
acara, dengan difasilitasi mas Bimo, kami bersama-sama menyusun acara mulai
dari hari sabtu saat peserta menginap datang, hingga hari minggu. Mas Bimo
mengusulkan untuk lebih memeriahkan acara, sebaiknya ada doorprize dari
teman-teman produsen. Mas Bimo siap menyumbang tas dan topi goni, mbak Retno
menyumbang beberapa botol sirup, mas Asat siap menyumbang pucha, saya
menyiapkan aneka aksesoris dan mukena, mas Rudi menyiapkan tempe, dan mas Kun
siap dengan tahunya. Semua siap berkontribusi menyukseskan acara, dengan gotong
royong: sopo nduwe opo. Acara ini
benar-benar dibangun dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan.
Kekawatiranku terkait acara semakin terkikis berkat dukungan dari teman-teman.
Seminggu
Sebelum Hari H
Hari-hari
menjelang acara, kami semakin sibuk. Hari-hari ku banyak dihabiskan di depan
internet untuk update informasi terkait acara, promo dan mengundang semua
teman, juga menjelaskan aneka informasi dan keterangan dari calon peserta. Ada
begitu banyak hal informasi yang harus disampaikan dan dikenalkan mengingat
mayoritas peserta/tamu belum pernah ke Panggang, apalagi menginjakkan kaki di Desa
Girimulya dan Wintaos. Saya harus menjelaskan tentang hal-hal terkait teknis
misalnya, rute, peta, jalan, alamat lengkap, kontak yang bisa dihubungi,
kontribusi peserta, juga detail acara. Saya pun juga harus menjelaskan tentang
substansi acara, baik tentang tujuan dilangsungkannya acara, kenapa diadakan
acara ini, bagaimana proses akan dilangsungkan, darimana dana-nya, apa itu Sekolah
Pagesangan dll. Saya dan anak-anak SP berkomunikasi dengan intens, meskipun
dengan sms/telp. Tapi komunikasi cukup efektif. Kami berbagi tugas. Saya diberi
tugas mengundang/menjawil/mengajak tamu sebanyak mungkin, mengkoordinir tamu
dari jogja maupun luar kota, menyiapkan pameran foto kegiatan SP, dokumentasi
acara dan menyiapkan beeberapa alat bantu lain. Sementara Murni dan yang
lainnya menyiapkan tempat, dan pendukung acara, mengkoordinir stand masakan dan
hasil bumi.
Pertemuan trakhir sebelum acara
Tanggal 4 adalah
pertemuan persiapan terakhir. Semua ibu-ibu pengampu stand makanan, anak-anak SP
berkumpul. Kami membicarakan detail persiapan. Dari laporan Murni saya diberi
info jika kami mendapat sewaan tenda murah, dengan harga 400 ribu, tenda sudah
berdiri sejak sabtu sore. Di pertemuan itu kami juga membahas detail harga per
menu, packaging, memastikan alat dan
bahan yang harus disiapkan oleh kelompok secara mandiri. Juga membahas siapa
saja yang akan berkonsinyasi hasil bumi. Kami juga membacakan rencana sumber
uang dan penggunaannya. Kami juga sempatkan membahas kostum, yang disepakati
kostum bebas asal sopan. Semua kelompok juga mengungkapkan tidak ada kendala
dalam mempersiapkan bahan untuk menu makanan, juga peralatan yang akan
digunakan, Karena diutamakan hasil panen sendiri, sehingga tidak menyulitkan
dalam menyediakannya.
H-2 dan H-1
persiapan semakin ketat, detik demi detik sungguh berharga, pesiapan di Wintaos
maupun di Jogja/rumahku sama-sama padat. Hingga hari jumat dini hari saya masih
harus lembur menyortir dan memilih dari ribuan foto yang terdokumentasikan
sejak SP dimulai hingga 2009 hingga foto terkini 2016. Asik juga melihat
foto-foto ini, seperti membuka lagi kenangan atas langkah demi langkah SP
berjalan. Saya banyak senyum sendiri dan kadang haru, melihat foto-foto itu.
Karena kenangan itu begitu membekas di hati.
7 Mei 2016
Tibalah pada hari
pelaksanaan, 7 Mei 2016. Saya sudah bersiap siap dari pagi. Banyak foto yang
harus dicetak, belanja buku tamu, peralatan dll. Ternyata menyita waktu. Dan di
long weekend ini (kamis- jumat
tanggal 5-6 dan 8 Mei berwarna merah), lalu lintas Jogja begitu padat. Wira-wiri membereskan tanggungan yang
tersisa menghabiskan waktu. Siang hari aku mendapat kepastian kabar, Dari 30-an
peserta yang mendaftar ada 6 orang yang membatalkan untuk gabung di acara. Tercatat,
ada 24 orang peserta yang akan ikut menginap. Sebagian besar dari mereka
berangkat berombongan dari Jogja menuju lokasi menggunakan mobil pribadi. Ada 5
orang peserta yang berangkat bareng saya. Jam 4 sore kami janjian berkumpul di
depan Mako Brimob, selatan perlimaan terminal Giwangan. Setelah jam 4.40 sore
semua peserta kumpul, kami langsung berangkat bersama, menggunakan mobil dan
motor. Tak seperti biasanya, jalanan menuju Panggang padat dan macet. Biasanya butuh 1 jam saja untuk sampai Panggang,
karena kepadatan lalu lintas butuh 1,5 jam mencapai lokasi.
Tenda sudah
dipasang di lapangan voley. Tikar juga sudah digelar. Umbul-umbul yang kami
rencanakan ternyata tidak jadi di pasang. Menurut Murni, kami tidak mendapatkan
pinjaman umbul-umbul serta gak ada yang bisa bantu memasangnya, mengingat
kemarin sore ada sripah (melayat
kematian), sehingga semua warga melayat
dan bergotong royong kematian, tak ada tenaga untuk memasang umbul-umbul.
Jadilah kami harus iklas, tanpa umbul-umbul sebagai penanda lokasi acara juga
untuk kemeriahan.
Magrib Ketika
saya masuk rumah murni, sudah ada 7 peserta, mbak Hayu Dyah dari Jombang, mbak Debrina
dan mbak Erlin dari surabaya, mbak Iin Saini, mbak Atin (Jombang), mbak Imma
dan bu Amalia (slow food Jogja), yang telah sampai dulu di posko (rumah Murni),
mereka sudah mandi dan segar, sedang ngobrol-ngobrol santai ditemani Murni. Saya
dan Murni menyempatkan diskusi bentar saling crosscek persiapan. Di dapur, bu Ngapiem (mamak Murni) mempersiapkan
makan malam peserta menginap. Murni bergegas menyiapkan acara workshop malam
ini. Rombongan mobil kedua dari jogja sampai. Mas Baning Prihatmoko (Jogja),
mbak Cella (Jogja), mbak Esther (dari Bandung) dan Leoni (Jogja), dan Vella
(Jogja) yang menaiki motor, bergabung dengan kami. Lalu beberapa menit kemudian
rombongan mobil dari purwoharjo datang, Ibu Taty, dengan putranya adik Hamam,
ibu Endah dan putranya, mba Wahyu, juga pak Bejo dan pak Haris. Berselang
beberapa saat Pak Hary dan bu Wiwik (Jogja) datang berboncengan membawa peralatan
dan bahan untuk berjualan mie pentil di bazar esok hari. Mas Rudi (dari Jogja) datang
agak malam. Total ada 23 peserta yang telah hadir dan bergabung di acara
workshop malam ini.
Jam 18.40an, Kami
semua berkumpul duduk melingkar di tikar bawah tenda. Sebagai pembukaan kami
melakukan perkenalan semua peserta. Semua peserta saling menceritakan nama dan
sedikit aktivitas masing-masing. Saya bercerita sedikit tentang Sekolah Pagesangan.
Acara diakhiri dengan pembagian kamar dan tempat menginap. Kami berjanji
berkumpul lagi jam 19.30 di tempat ini. Semua peserta bubar menuju rumah
penginapan masing-masing.
Jam 19.30 peserta mulai berdatangan, ketika ku tanya
semua sudah makan dan istirahat sejenak. Kami berkumpul kembali di bawah tenda.
Peralatan dan bahan untuk workshop tempe koro sudah diletakkan di tengah-tengah
arena. Murni memulai kelas membuat tempe koro. Murni menjelaskan bahan-bahan
dan alat yang dibutuhkan, lalu menjelaskan secara rinci proses pembuatannya.
Murni membuatkan bagan urutan kerja, dan membacakannya berulang supaya membantu
peserta lebih mudah memahami proses pembuatannya. Lastri, Hesti, Windar, Heryanti
dan Wulan membantu menyiapkan bahan dan alat-alat. Beberapa peserta mencatat
dan mendokumentasikan proses yang dijelaskan Murni. Proses pembuatan tempe dimulai dari perendaman
benguk/koro selama 2 hari, dan sebaiknya air untuk merendam diganti tiap hari.
Setelah direndam 2 hari, benguk dicuci dan dikukus, diklocopi kulit arinya, dan diiris supaya lebih tipis. Setelah
tipis siap diragi. Proses malam ini telah sampai pada tahap peragian. Murni menuangkan ragi diatas benguk yang telah
siap, selanjutnya dia mengaduknya sampai rata. Setelah rata, benguk siap
dibungkus. Murni mengajarkan cara membungkus tempe dengan daun pisang sebagai
inner dan daun jati sebagai outer, lalu dililit dengan tali dari gedebog
pisang. Semua peserta terlibat aktif dan mencoba membungkus benguk yang telah
diragi. Total benguk 5 kg untuk bahan belajar itu telah dibungkus oleh semua
peserta. Meskipun listrik sempat padam sekitar 1 jam, tapi acara bungkus tempe
tetap berlanjut dengan bantuan penerangan senter dan lampu HP. Workshop membuat
tempe selesai jam 21.30. Peserta masih antusias ngobrol dan diskusi. Karena
peserta masih belum mengantuk, kami memutuskan untuk melanjutkan acara dengan
diskusi. Saya meminta mas Baning untuk bercerita dan memandu. Diskusi menjadi
lebih hangat dengan kehadiran jahe panas di jumbo besar, juga pop corn dan telo goreng pedas dan gurih
olahan ibu Ngapiem dan mbak Kus. Diskusi mengalir, mas Baning mengajak kami
melihat kembali ke persoalan benih, keberdayaan petani, diskusi ini cukup
menarik, dan hampir semua peserta terlibat dalam diskusi dan saling menimpali.
Setelah membahas benih, kami membahas juga tentang pengorganisasian anak,
remaja petani.
Tak terasa waktu
semakin larut, sebagian peserta pamit mundur dan beristirahat di rumah inap
masing-masing. Sementara beberapa peserta (mas Baning, mas Bejo, mas Haris, mas
Rudi saya dan mbak Imma) masih tegar untuk melanjutkan diskusi hingga larut.
Sekitar jam 01 dini hari, kami memutuskan membubarkan diri dan tidur. Saya, mba
Imma dan Leoni, tidur di rumah Murni.
Minggu, 8 Mei 2016
Jam 04.00 pergerakan sudah mulai terasa dari arah dapur.
Bu Ngapiem, ayah Murni dan Murni mulai memasak menyiapkan sarapan. Mbak Imma
sudah bangun duluan, saya selanjutnya, dan mba Leoni menyusul. Pagi itu saya
masih punya tanggungan merampungkan display foto kegiatan anak-anak Sekolah
Pagesangan. Melihat saya yang agak panic, mba Leoni dan mba Imma segera
membantu, subuh itu kami bertiga berjibaku mengklasifikasi foto, menyortir
berdasarkan tema serta menempel foto-foto ke kertas karton dan manila.
Jam 6 pagi
peserta menginap sudah berdatangan. Pagi ini jadwal jalan-jalan keliling
kampung dan melihat kebun-kebun. Karena pekerjaan display foto belum selesai,
saya tidak menemani peserta, peserta ditemani oleh Lastri dan Livia. Acara
jalan-jalan rampung sekitar jam 7.30, saya mempersilahkan mereka untuk sarapan
di rumah inap masing-masing dan kembali lagi jam 8 pagi untuk mengikuti acara.
Pagi-pagi
setelah subuh,bapak-bapak, bapak Murni, kang Mun, bapak Windar, bapak Hanan,
bapak Wulan gotong royong memasang deklit untuk menyambung tenda suapaya
seluruh lapangan tertutup atap, menghalau panas. Di saat yang sama kelompok
ibu-ibu sudah mulai berdatangan, mereka datang membawa alat-alat dan bahan. Ada
yang beramai-ramai menggotong meja besar (dari rumah atau meminjam dari balai
dusun) untuk display makanan, ada yang membawa tungku, ada yang membawa arang
dan kayu, panci, penggorengan dll. Pagi itu semua sibuk sekali. Sementara itu, Murni
dan kawan-kawan gesit menyiapkan display hasil kebun. Rupanya Murni berhasil
mengkoordinir dan memperoleh banyak rekanan petani wintaos untuk berkonsinyasi.
Terbukti banyak sekali sayuran, serealia, umbi-umbian, juga olahan seperti
tiwul instan yang akan dititip jual hari ini. Sayuran yang tersedia saat itu: kecipir,
kacang panjang, tayuman, daun salam, daun so. Untuk pangan pokok ada jali-jali
yang telah disosoh, beras merah hasil tutu (non giling), beras merah giling,
tiwul instan (goge), gaplek. Ada 3
macam tempe yang didisplay hari ini, ada tempe benguk buatan bu Ngapiem, ada
tempe botor buatan kelompok mamak Wulan dan yu Rutini, ada tempe kedelai buatan
bu Ngapiem. Display ada juga waluh,
bligo, buah-buahan seperti sirsat, pisang-pisangan, dan jeruk bali. Display
hasil bumi cukup banyak dan memenuhi satu sisi selatan lapangan voley, karena
tak muat di atas meja, sebagian dijajar di lantai. Selain hasil bumi tersedia
pula beberapa peralatan masak khas ndeso seperti tungku dan cobek dan ulegan.
Semua Alat dan
bahan yang digunakan untuk acara ini adalah gotong royong dan swadaya
masyarakat. Setiap stand merupakan
perwakilan RT. Semua stand telah bersepakat, Tiap RT menyiapkan secara mandiri
meja, tungku, alat-alat memasak tradisional, dan semua bahan yang akan diolah.
Waktu terus beranjak, sekitar jam 7.30 situasi mulai ramai, hampir semua stand
telah terisi alat dan bahan memasak. Sebagian rupanya telah menyiapkan dan
meracik bahan masakan dari rumah. sebelum jam 8 semua stand sudah siap di
posisi masing-masing.
Teman-teman yang
menginap, mulai bergabung di arena bazar. Ada yang melihat proses memasak. Ada yang ngobrol dengan ibu-ibu. Ada pula
yang melihat sayuran dan hasil bumi. Mbak Leoni dan mbak Imma dan Hanan bahu
membahu dengan saya merampungkan display foto kegiatan SP. Usai dengan urusan
foto, saya dan Lastri mengumpulkan dan mengatur display doorprize yang
merupakan hasil sumbangan teman-teman. Mas
Rudi dan Hesti selaku MC mulai cuap-cuap ramai di panggung teras rumah Murni.
Menu Makanan Ala Ndeso
Stand
|
Menu
|
Harga
|
stand RT 01
|
Nasi Tiwul + Lodeh + tempe
bacem
|
7.000/porsi
|
combro
|
1.000/buah
|
|
gathot
|
2.000/porsi
|
|
Stand RT 02
|
Nasi Merah + lodeh
tempe Lombok ijo krecek + tempe bacem
|
7.000/porsi
|
Nasi tiwul + gudeg + urap
+ krupuk telo
|
7.000/porsi
|
|
Stand RT 03
|
Nasi jagung + botok + Gereh
|
7000/porsi
|
Minuman wedang secang
dan jahe
|
2.000/gelas
|
|
Stand RT 04
|
bubur kacang ijo ketan
hitam
|
5000/porsi
|
criping
|
5000 dan 10.000/plastik
|
|
Stand RT 05
|
nasi jagung + lodeh
|
7.000/porsi
|
gethuk kimpul dan timus
|
1.000/buah
|
|
Stand RT 06
|
aneka kue dari bahan
singkong: cemplon putri salju, kue ketupat, sate cemplon, cake singkong
|
1.000-2.000/porsi
|
Stand RT 07
|
nasi merah pecel.
Gudeg gori dan tempe garit
|
7000/porsi
|
Es dawet
|
2000/gelas
|
Semua ibu- ibu
sibuk memasak dan mendisplay makanan yang mateng. Tamu-tamu satu persatu
berdatangan, ada yang rombongan membawa mobil, ada yang membawa motor. Halaman
SD girimulya disiapkan menjadi kantong parkir untuk kendaraan para tamu.
Mc terus bicara
mengiringi kegiatan dapur ibu-ibu dan tamu yang menikmati masakan yang
disajikan. Untuk memeriahkan acara, ratusan door prize hasil gotong royong (sopo duwe opo) mulai dibagikan. Satu
persatu nomor yang disebut mendapatkan 1 doorprize,
ada yang dapat bros batik, bando, syrup, pucha, tempe, mie ganyong, kerupuk dll.
Tak hanya tamu yang mendapat door prize, warga Wintaos yang hadir, semua
peserta dan ibu-ibu stand masakan juga mendapat doorprize.
Sekitar jam 09.00
WIB hujan mulai turun, kami agak heboh menyelamatkan barang-barang supaya tidak
kehujanan, tapi proses memasak terus berlangsung, para tamu berteduh di bawah
tenda, sambil menikmati dan menyantap makanan yang telah dipesan. Acara terus
berlangsung meski hari hujan
Waktu terus
belangsung tamu-tamu terus datang dan pergi. Tamu-tamu bebas berkeliling ke
semua stand. Kami berusaha mendokumentasikan tamu yang hadir di buku tamu,
walau ternyata gak semua tamu mau mengisi buku tamu. Rata-rata jika ada tamu berombongan yang
mengisi hanya 1 orang. Saya perkirakan total tamu yang hadir ada sekitar 200
orang, berasal dari latar belakang yang beragam. Diantara tamu-tamu (non menginap) yang hadir,
diantaranya: teman-teman pegiat Pasar sasen (mas Bimo, mba Imelda, mas Kun, Teh
Nissa Wargadipura dari Garut, beserta para santrinya, ibu Johana EP dari Psikologi
UGM Jogja beserta rombongan. Mba Laksmi, dari FIAN/UGM. Mas Cuk dari Antro UGM beserta keluarga, Jogja. Mas Hery
Fosil, kang Kandar, kang Roy dan teman-teman dari Semanu, Wonosari, Purwodadi, GK.
Pak Anam beserta keluarga dan juga teman-temannya. Mas Rio dari bumi langit, teman-teman
dari Sanata dharma, Ibu Janti @alterjiwo, Cipan dan teman-teman Pasar Kamisan, Titha n Zaidil (pasar siliran), dll
Ibu-ibu stand
masakan terus aktif memasak dan menyiapkan orderan makanan pesanan. Beberapa
tamu melihat dan terlibat dalam proses memasak.
Menjelang siang,
tamu masih datang dan pergi. Doorprize terus dibagikan. Kami berusaha berdialog
dan menjamu semua tamu semampu kami. Hingga menjelang jam 13.00, doorprize
tinggal yang utama, Lastri dan Hesti memberikan tambahan kuis untuk mendapatkan
doorprize, ibu-ibu mulai terihat capek dan mulai menghentikan aktifitas
memasak. Bahkan beberapa stand produk telah habis jadi memutuskan beres-beres.
Acara ditutup jam 13.00. Banyak tamu masih tetep tinggal dan mengobrol santai
dengan kami.
Hesti mengidentifikasi
omset semua stand. Murni mengkoordinir
penghitungan omset hasil bumi. Stand RT 01 beromset Rp. 136.000. RT 02 beromset
Rp. 180.000. RT 03 beromset 205.000. RT 04 beromset Rp. 416.000. RT 05 beromset 141.000. RT 06
beromset 307.000. RT 07 beromset 450.000. Sementara itu stand hasil bumi
beromset 1.040.000,- sehingga dari bazar,
total omset bazar 2.875.000, dan total kontribusi peserta menginap Rp.
1.680.000,-. Sehingga pada tanggal 8 Mei ada 4.555.000 yang masuk ke Dusun Wintaos.
Dari proses dan
kegiatan ini, kami belajar dan membuktikan, dengan modal social saja kita mampu
berdaya dan memberdayakan diri sendiri. Tanpa bantuan proposal sama sekali,
kita mampu menyelenggarakan acara yang sederhana namun terbukti mampu menjadi
menjadi media belajar bagi semua partisipan yang terlibat. Acara ini juga mampu
menginisiasi dan menghidupkan ruang-ruang usaha berbasis pertanian di desa.
0 comments:
Post a Comment