Thursday, May 19, 2016

Mengorganisir: Memanggil Cita Rasa Ndeso

Memanggil Cita Rasa Ndeso
(Workshop, Diskusi, Bazar Makanan ala nDeso dan Pasar Tani)
Dusun WIntaos, Desa Girimulya, Kecamatan Panggang-Gunung Kidul
7-8 Mei 2016
by: Diah Widuretno


Persiapan

Pertemuan 1; Mengorganisasi awal

Keputusan penyelenggaran kegiatan Bazar Memanggil Cita Rasa Ndeso tepat sebulan sebelum Hari H dilangsungkan. Mengingat waktu ku di awal April s.d 25 April tersita untuk persiapan dan pelaksanaan keikutsertaan Larasatibatik di INACRAFT, otomatis saya butuh kerjasama yang solid dan prima dari anak-anak SP di luar waktu kerja ku untuk Larasatibatik. 10 April, aku segera mengumpulkan anak-anak SP untuk mulai mulai membahas persiapan acara ini dengan mengidentifikasi pekerjaan yang harus segera dilakukan. Anak-anak SP yang hadir saat itu: Murni, Oki, Livia, Hanan, Haryanti, Wulan, Hesti, Lastri dan Windar. Saya, agak suprises dengan kehadiran Hesti, Lastri dan Windar setelah 3 tahun lebih mereka non aktif dari kegiatan di SP. Tiga tahun terakhir mereka sekolah dan ngekos di Kota Jogja dan Wonosari, jarang berada di Wintaos. Kini setelah mereka bertiga lulus SMK, mereka ‘pulang’, mau terlibat dan bekerjasama dengan anak SP lain untuk kegiatan ini. 

Semua anak yang hadir saat itu bersepakat mau bekerjasama melangsungkan rangkaian kegiatan bazar Memanggil Citarasa Ndeso. Kami segera mengidentifikasi hal-hal yang perlu segera dikerjakan. Mulai dari:
1.       Menghubungi dan berkoordinasi dengan Pak dan Bu Dukuh Wintaos,
2.       Persiapan peralatan, seperti deklit/iyu-iyup, umbul-umbul dll,
3.       Persiapan dan pengorganisasian kelompok ibu-ibu stand masak,
4.       Persiapan dan pengorganisiran stand hasil bumi,
5.       Persiapan stand alat-alat memasak tradisional,
6.       Promosi dan pendaftaran peserta,
7.       Keuangan,
8.       Homestay untuk tamu menginap,
9.       Workshop membuat tempe dan diskusi para tamu menginap,
10.   Stand Pameran Foto kegiatan SP.

Hal yang paling banyak menyita diskusi kami adalah bahasan tentang iyup-iyup/tenda untuk acara. Kami membayangkan, banyak orang yang akan datang dan terlibat acara ini, butuh tempat bernaung seperti tenda atau semacamnya, melindungi panas dan hujan. Kami mulai mendiskusikan iyup-iyup atau atap apa yang paling murah biayanya. Hesti mengusulkan seng aja, karena tiap RT punya seng yang biasanya dipakai untuk hajatan. Jika seng se-dusun dikumpul pasti kita gak butuh tenda. Tapi lastri mengingatkan, “Kalau pakai seng, mau pakai tiang apa? Kayu atau bamboo, kan gak bisa gratis, dapat dari mana? Kalau hajatan biasanya yang punya hajat keluar uang untuk beli bamboo atau kayu, tapi kalau kita kan gak mungkin beli kayu/bambu”. Murni usul memakai deklit saja. Yang lain saling menimpali, jika untuk menaungi seluruh lapangan voley berarti butuh banyak deklit, dan deklit harus dibeli, juga kayu penyangganya. “Mending ngganggo tenda wae” kata Oki. Saya bertanya, kira-kira berapa harga sewa tenda? Lastri bilang, waktu acara di rumahnya kemarin, sewa tenda 500 ribu, tapi gak seluas lapangan voley ini.  Murni, mengusulkan, “Gini aja mba, kita cari info dulu, kira-kira berapa harga sewa tenda untuk seluas lapangan ini, dan kita akan berusaha nego harganya,  ini kan juga untuk keperluan warga. “Oh ya, yen tendane nyewo, entuk duwik soko ngendi?” Tanya lastri.

Aku mengajak mereka membahas keuangan. Salah satu sumber keuangan kita dari homestay/tamu yang menginap. Kita hitung, berapa harga menginap per orang? Selanjutnya Kami berhitung, untuk fasilitas: menginap semalam, snack, makan malam, workshop tempe dan sarapan pagi. Berapa ya harga yang pantas? Kami bersama-sama hitung.  aku mengusulkan di angka 80 ribu, dengan rincian, untuk 50 ribu diberikan pada rumah penginapan, tiap rumah tersebut sudah termasuk menyediakan makan malam dan makan pagi (sarapan), sedangkan yang 30 ribu untuk beli koro/benguk workshop, honor tutor dan iuran sewa tenda. Hesti menyahut, kalo untuk rumah-rumah homestay nanti menyesuaikan saja gak papa mba, misalnya jika dana untuk sewa tenda kurang, maka jatah per rumah bisa dikurangi menjadi 40 ribu.Yang lain juga sepakat di angka 80 ribu. Kami lanjutkan membahas kriteria untuk rumah homestay (rumah untuk menginap). Kami sepakat rumah tidak harus bagus, yang penting harus bersih dan ada kamar mandi juga air. Sebaiknya jika bisa tidurnya di kamar, tapi jika kamar tidak cukup, bisa juga di ruang tamu asalkan dikasih alas tidur yang hangat dan agak empuk. Kami juga mengidentifikasi rumah-rumah yang siap dijadikan homestay, juga menghitung kapasitas dan kuota yang peserta yang bisa kami fasilitasi menginap. Kami menargetkan 30-35 orang untuk menginap.

Lalu Murni juga menyahut, kalo stand-stand dimintai iuran japren gimana mba? Bisa untuk menambah iuran sewa tenda. Misal 1 stand iuran 3-5 ribu, sepertinya mereka gak keberatan. Lasti menyahut juga, iya seharusnya semua stand iuran , nanti dirembug saat pertemuan ibu-ibu, “tak kiro yen mung iuran 5 ewu per stand ora kabotan, ibu-ibu mesti gelem lah..

Aku mengusulkan, untuk stand hasil bumi dan alat alat masak tradisional itu sistemnya konsinyasi (petani titip jual), jadi kita gak kulakan. Kalo bisa kalian juga ada bagi hasil misal  5-10% dari harga jual. Misalnya beras dari yang titip harga 11.000, kita jual 11.500, sayuran missal dari yang titip 5.000, kita jual 5.500, dst. Uang pendapatan penjualan hasil bumi dan alat-alat tradisonal langsung diberikan ke  para petani penitip setelah bazaar selesai dan keuntungan hasil bumi dan alat-alat masak tradisional bisa kita pakai juga untuk tambahan sewa tenda dan keperluan lainnya, misalnya untuk ganti air mamake Murni yang kepakai untuk masak di tiap stand, alat tulis, ngeprint foto, dll. Semua anak mengiyakan, “bener mbak”.

Berarti kita harus promosi gencar, supaya orang pada mau nginep, sahut Livia dan Oki. Semakin banyak yang menginap berarti kita bisa dapat tambahan dana, terutama untuk bayar sewa tenda. Pertemuan awal diakhiri dengan pembagian tugas masing-masing orang.

Pertemuan 2; Pemantapan, membagi tugas

Pertemuan dengan panitia (organizer acara) kelompok anak-anak dilanjutkan hari minggu, 17 April 2016. Pada pertemuan ini hadir Oki, Murni, Hesti, Lastri, Livia, Haryanti dan Wulan. Agenda Pertemuan kali ini mempertajam pertemuan pertama, masih membahas tenda, juga jumlah tamu yang sudah mendaftar menginap. Sampai dengan 17 April sudah ada 8 tamu yang mendaftar. Untuk atap kami mantap memutuskan menyewa tenda. Hesti menginfokan 1 tenda sewanya 300 ribu, dan untuk sepanjang lapangan voley kita butuh 3 tenda, berarti untuk tenda kita butuh 900 ribu ya? Wah… terlalu mahal pikirku, aku mengusulkan kita harus cari tempat persewaan yang lebih murah atau kalau gak ada yang murah kita lebih baik beli deklit aja, nanti deklitnya bisa jadi inventaris, bisa dipakai kapan-kapan lagi. Tapi murni menyahut, “Biar kami coba dulu cari yang lebih murah mba, memang sayang uang 900 ribu hanya untuk sewa tenda, harus dapat yang lebih murah dari itu, dana kita gak bakal cukup”.

Selanjutnya, kami membahas rumah-rumah yang siap untuk jadi penginapan. Rumah yang menyatakan siap untuk menginap tamu: Murni, Mbak Rutini, Hesti,  Windar, Livia, dan Hanan. Masing-masing rumah siap menerima 5 orang tamu. Kecuali mba Rutini siap menerima 10 tamu karena punya 3 kamar.

Kami bersepakat untuk menggencarkan promosi, agar mencapai target 30 tamu yang ikut menginap. karena semua anak gak ada yang memiliki akses internet, sehingga promosi acara ini sangat bergantung padaku.
Untuk workshop tempe, murni menyatakan siap mengajukan diri sebagai tutor. Murni juga siap menyediakan bahan baku dan peralatan untuk workshop tempe. Mulai dari bahan baku (koro/benguk), ragi, daun pisang dan daun jati pembungkus, dhebog pengikat, juga semua detail yang dibutuhkan. Pertemuan ini diakhiri dengan mempertegas PR-PR yang harus dilakukan untuk persiapan acara:
1.       Menggencarkan informasi terkait acara ini, mendatangkan tamu sebanyak mungkin, dan memaksimalkan yang bisa menginap
2.       Mencari info tenda, harga tenda yang termurah
3.       Mulai mengorganisir siapa saja yang akan menitipkan hasil bumi
4.       Mengundang ibu-ibu pengisi stand makanan untuk hadir di pertemuan tanggal 26 april 2016
5.       Persiapan homestay
6.       Persiapan bahan dan alat untuk workshop tempe

Murni banyak berperan banyak dalam mencari info tenda, mendata petani yang mau menitipkan hasil bumi, mencari mitra konsinyasi untuk alat-alat masak tradisional, dan menyiapkan bahan dan alat untuk workshop tempe

Sementara Hesti mengkoordinir rumah-rumah yang akan menjadi homestay. Lastri ditunjuk menjadi bendahara, yang mencatat pengeluaran dan pemasukan uang. Lastri dan hesti membantu murni untuk mendata hasil bumi dan mencari mitra konsinyasi alat memasak tradisional
Oki yang diserahi tugas untuk mendata tamu yang akan datang dan bertanggungjawab pada persiapan peralatan, misalnya tenda, umbul-umbul, tikar, soundsistem dll
Sementara selama seminggu setelah pertemuan ini, Komunikasi dan diskusi untuk menguatkan proses persiapan terus dilangsungkan, baik dengan anak-anak SP, juga dengan teman-teman dari komunitas Pasar Sasen, sebagai bagian penggagas kegiatan acara ini terus dilakukan melalui SMS, Medsos, WA, mengingat saya mengurus kesertaan usaha saya di INACRAFT, Jakarta. Tapi saya sudah meniatkan tetap menggencarkan share informasi terkait acara ini via medsos, untuk mengundang sebanyak mungkin peserta.


Pertemuan 3; Kelompok Ibu-ibu pun siap mendukung

Sore itu, Jam 16.16 WIB, Selasa, 26 April 2016, suasana diskusi yang riuh dan hangat pertemuan kelompok ibu-ibu Dusun Wintaos, Ada perwakilan 7 Rukun Tetangga (RT) yang hadir di pertemuan RT, tiap RT diwakili 3- 6 orang perempuan. Ibu Dukuh juga menghadiri pertemuan ini. Pertemuan diawali dengan diskusi  mengapa tujuan acara ini dilangsungkan.  Saya menjelaskan bahwa acara ini bermaksud untuk :

  • 1.       Menguatkan perekonomian local melalui peguatkan usaha-usaha kecil berbasis pertanian/pangan yang dipelopori oleh kelompok perempuan/ibu-ibu
  • 2.       Melestarikan pangan local Wintaos, Girimulya selaku kekayaan dan potensi desa
  • 3.       Belajar bersama membiasakan memasak makanan sehat
  • 4.    Menguatkan semangat anak-anak muda untuk bangga dan mantab menjadi petani dan produsen pangan, guna memenuhi kebutuhan pangan desa dan Negara

Pertemuan cukup meriah, hampir semua orang diberikan kesempatan berbicara mengungkapkan maksudnya. Pertemuan ditutup setelah memproduksi beberapa kesepakatan :

  • 1.       Selama kegiatan ini, kami semua bersepakat untuk membangun komunikasi yang sehat, mengutarakan semua keresahan, meminimalisir grundelan dibelakang dan berterus terang
  • 2.       semua orang (semua kelompok perwakilan RT) bersepakat bekerja sama melangsungkan bazar memanggil citarasa ndeso
  • 3.       semua kelompok bersedia iuran untuk menyewa tenda, sebagai peneduh lokasi acara. Tiap RT bersedia iuran Rp. 6.000,-
  • 4.       semua kelompok bersepakat untuk membawa dan menyiapkan secara mandiri segala bahan-bahan untuk memasak makanan sesuai menu yang disepakati, baik itu bahan baku maupun segala bumbu yang dibutuhkan 
  • 5.       semua kelompok bersepakat untuk menyiapkan dan membawa secara mandiri segala peralatan lengkap untuk memasak, peralatan penyajian makanan untuk pengunjung/customer dan menyiapkan meja untuk display produk dan makanan. Disepakati juga untuk tidak menggunakan kompor, tapi menggunakan tungku/emput dengan bahan bakar boleh arang, blarak, kayu maupun sekam
  • 6.       semua kelompok bersepakat dengan sistem undian menu dan semua  juga sudah menerima menu yang akan jadi tema masakan tiap kelompok.
  • 7.       Semua hasil , termasuk hasil penjualan yang diperoleh selama bazar sepenuhnya menjadi hak kelompok atau RT
  • 8.       Bahan –bahan masakan diutamakan dari hasil kebun sendiri.
  • 9.       Kami bersepakat hanya memproduksi makanan sehat dan proses memasak  TIDAK Menggunakan 4P (Pemanis Buatan, Pewarna Sintetis, Penguat Rasa, Pengawet)

Ibu-ibu meminta untuk diadakan pertemuan lagi sebelum tanggal 8, untuk membahas lebih detil hal-hal yang belum bisa diputuskan pada pertemuan kali ini, diantaranya tentang kesepakatan harga jual tiap menu, kostum, uang iuran, menu, peralatan yang harus dibawa

Secara umum, Ibu-ibu tampak bersemangat, sebagian mengungkapkan ini merupakan kali pertama menjual makanan khas desa mereka ke orang luar, beberapa dari mereka juga kawatir jika makanan yang mereka masak tidak disukai dan tidak laku. Saya meyakinkan, kita sama-sama berusaha semampu kita. Kita akan sama-sama persiapkan alat dan bahan secara maksimal dan memasak dengan penuh cinta, saya juga akan berupaya mendatangkan dan mengajak tamu sebanyak yang saya bisa. Dalam hati sebenarnya saya juga punya kekawatiran tentang tamu yang akan datang. Khawatir jika jumlah tamu tidak bisa memenuhi harapan ibu-ibu. Kami memutuskan pertemuan lanjutan akan diadakan tanggal 4 Mei 2016  di balai dusun jam 2 sore.

Hari-hari menjelang hari H

Hari-hari setelah pertemuan dengan ibu ibu Saya semakin deg-degan dan khawatir. khawatir jika jumlah tamu yang hadir hanya sedikit dan mengecewakan ibu-ibu. Kekhawatiran saya cukup beralasan, mengingat dusun Wintaos/DesaGirimulya bukanlah destinasi wisata, bukan pula wilayah yang biasa dikenal dan dikunjungi public, lokasi yang jauh dari perkotaan. Apalagi tidak adanya transportrasi umum menuju lokasi, dan akses ke lokasi hanya bisa dengan kendaraan pribadi. Apakah orang-orang mau ya berkunjung ke lokasi, yang jauh dari kota, dengan kontur jalan naik turun, berkelok-kelok, daya tempuh jauh dan berpotensi membuat mabuk darat?

Tapi saya mencoba melawan kekhawatiran dan bertekad untuk mengoptimalkan segala daya untuk mempromosikan dan membagikan informasi, terkait acara in. Agak terhibur karena banyak teman-teman yang mau membantu secara sukarela (suka dan rela) membagikan info terkait acara in, terutama mas Bimo, Mbak Imelda dari Pasar Sasen, juga Teh Nissa Garut yang begitu gencar bahu membahu dengan saya saling membagikan info di media sosial.

Hari ke hari mendekati hari H, kekhawatiran saya mulai terkikis, sedikit demi sedikit mulai ada yang mendaftar untuk kegiatan. Tiap hari saya meng-update jumlah tamu menginap dan yang datang langsung.  Pengumuman dan informasi terus digeber di medsos. Saya mengetuk sebanyak teman yang bisa saya jangkau, saya undang untuk datang.

Pertemuan Komunitas Pasar Sasen: Gladi Resik

Tanggal 1 Mei, diadakan pertemuan komunitas Pasar Sasen di Wintaos dengan agenda Gladi Resik persiapan acara tanggal 8 Mei: Memanggil Cita Rasa Ndeso. Yang hadir saat itu mas Bimo, mbak Imel, pak Hary, bu Wiwik, mas Kuncoro, mas Rudi, mas Noel, mas Agung Satria, mbak Citra, mbak Retno. Kami membahas satu persatu persiapan.  Mulai dari jumlah peserta yang telah mendaftar juga persiapan acara, juga teknis lainnya. Jumlah peserta menginap hingga tanggal 1 Mei ada sekitar 25 orang yang mendaftar, dan sekitar 40- an orang yang telah konfirmasi datang langsung tanpa menginap. Waktu tinggal seminggu lagi, semua anggota pasar sasen berjanji untuk membantu promosi acara melalui media social masing-masing (FB maupun IG). 

Di pertemuan ini, Murni, Lastri, Windar, Livia juga saya bergantian menjelaskan tentang persiapan stand makanan, gambaran menu yang akan dimasak, juga system serta kesepakatan yang kami bangun dengan ibu-ibu. Kami juga menjelaskan tentang kesediaan ibu-ibu menyiapkan bahan dan alat secara mandiri, serta iuran tiap kelompok untuk membangun tenda. Murni juga menjelaskan tentang rumah-rumah yang telah siap untuk rumah inap (homestay), juga persiapan workshop tempe.  Rencana kebutuhan keuangan dan solusi terkait keuangan dijelaskan oleh Lastri.  

Saat membahas acara, dengan difasilitasi mas Bimo, kami bersama-sama menyusun acara mulai dari hari sabtu saat peserta menginap datang, hingga hari minggu. Mas Bimo mengusulkan untuk lebih memeriahkan acara, sebaiknya ada doorprize dari teman-teman produsen. Mas Bimo siap menyumbang tas dan topi goni, mbak Retno menyumbang beberapa botol sirup, mas Asat siap menyumbang pucha, saya menyiapkan aneka aksesoris dan mukena, mas Rudi menyiapkan tempe, dan mas Kun siap dengan tahunya. Semua siap berkontribusi menyukseskan acara, dengan gotong royong: sopo nduwe opo. Acara ini benar-benar dibangun dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan. Kekawatiranku terkait acara semakin terkikis berkat dukungan dari teman-teman.

Seminggu Sebelum Hari H

Hari-hari menjelang acara, kami semakin sibuk. Hari-hari ku banyak dihabiskan di depan internet untuk update informasi terkait acara, promo dan mengundang semua teman, juga menjelaskan aneka informasi dan keterangan dari calon peserta. Ada begitu banyak hal informasi yang harus disampaikan dan dikenalkan mengingat mayoritas peserta/tamu belum pernah ke Panggang, apalagi menginjakkan kaki di Desa Girimulya dan Wintaos. Saya harus menjelaskan tentang hal-hal terkait teknis misalnya, rute, peta, jalan, alamat lengkap, kontak yang bisa dihubungi, kontribusi peserta, juga detail acara. Saya pun juga harus menjelaskan tentang substansi acara, baik tentang tujuan dilangsungkannya acara, kenapa diadakan acara ini, bagaimana proses akan dilangsungkan, darimana dana-nya, apa itu Sekolah Pagesangan dll. Saya dan anak-anak SP berkomunikasi dengan intens, meskipun dengan sms/telp. Tapi komunikasi cukup efektif. Kami berbagi tugas. Saya diberi tugas mengundang/menjawil/mengajak tamu sebanyak mungkin, mengkoordinir tamu dari jogja maupun luar kota, menyiapkan pameran foto kegiatan SP, dokumentasi acara dan menyiapkan beeberapa alat bantu lain. Sementara Murni dan yang lainnya menyiapkan tempat, dan pendukung acara, mengkoordinir stand masakan dan hasil bumi.

Pertemuan trakhir sebelum acara

Tanggal 4 adalah pertemuan persiapan terakhir. Semua ibu-ibu pengampu stand makanan, anak-anak SP berkumpul. Kami membicarakan detail persiapan. Dari laporan Murni saya diberi info jika kami mendapat sewaan tenda murah, dengan harga 400 ribu, tenda sudah berdiri sejak sabtu sore. Di pertemuan itu kami juga membahas detail harga per menu, packaging, memastikan alat dan bahan yang harus disiapkan oleh kelompok secara mandiri. Juga membahas siapa saja yang akan berkonsinyasi hasil bumi. Kami juga membacakan rencana sumber uang dan penggunaannya. Kami juga sempatkan membahas kostum, yang disepakati kostum bebas asal sopan. Semua kelompok juga mengungkapkan tidak ada kendala dalam mempersiapkan bahan untuk menu makanan, juga peralatan yang akan digunakan, Karena diutamakan hasil panen sendiri, sehingga tidak menyulitkan dalam menyediakannya.

H-2 dan H-1 persiapan semakin ketat, detik demi detik sungguh berharga, pesiapan di Wintaos maupun di Jogja/rumahku sama-sama padat. Hingga hari jumat dini hari saya masih harus lembur menyortir dan memilih dari ribuan foto yang terdokumentasikan sejak SP dimulai hingga 2009 hingga foto terkini 2016. Asik juga melihat foto-foto ini, seperti membuka lagi kenangan atas langkah demi langkah SP berjalan. Saya banyak senyum sendiri dan kadang haru, melihat foto-foto itu. Karena kenangan itu begitu membekas di hati.

7 Mei 2016

Tibalah pada hari pelaksanaan, 7 Mei 2016. Saya sudah bersiap siap dari pagi. Banyak foto yang harus dicetak, belanja buku tamu, peralatan dll. Ternyata menyita waktu. Dan di long weekend ini (kamis- jumat tanggal 5-6 dan 8 Mei berwarna merah), lalu lintas Jogja begitu padat. Wira-wiri membereskan tanggungan yang tersisa menghabiskan waktu. Siang hari aku mendapat kepastian kabar, Dari 30-an peserta yang mendaftar ada 6 orang yang membatalkan untuk gabung di acara. Tercatat, ada 24 orang peserta yang akan ikut menginap. Sebagian besar dari mereka berangkat berombongan dari Jogja menuju lokasi menggunakan mobil pribadi. Ada 5 orang peserta yang berangkat bareng saya. Jam 4 sore kami janjian berkumpul di depan Mako Brimob, selatan perlimaan terminal Giwangan. Setelah jam 4.40 sore semua peserta kumpul, kami langsung berangkat bersama, menggunakan mobil dan motor. Tak seperti biasanya, jalanan menuju Panggang padat dan macet.  Biasanya butuh 1 jam saja untuk sampai Panggang, karena kepadatan lalu lintas butuh 1,5 jam mencapai lokasi.

Tenda sudah dipasang di lapangan voley. Tikar juga sudah digelar. Umbul-umbul yang kami rencanakan ternyata tidak jadi di pasang. Menurut Murni, kami tidak mendapatkan pinjaman umbul-umbul serta gak ada yang bisa bantu memasangnya, mengingat kemarin sore ada sripah (melayat kematian), sehingga semua warga  melayat dan bergotong royong kematian, tak ada tenaga untuk memasang umbul-umbul. Jadilah kami harus iklas, tanpa umbul-umbul sebagai penanda lokasi acara juga untuk kemeriahan.

Magrib Ketika saya masuk rumah murni, sudah ada 7 peserta, mbak Hayu Dyah dari Jombang, mbak Debrina dan mbak Erlin dari surabaya, mbak Iin Saini, mbak Atin (Jombang), mbak Imma dan bu Amalia (slow food Jogja),  yang telah sampai dulu di posko (rumah Murni), mereka sudah mandi dan segar, sedang ngobrol-ngobrol santai ditemani Murni. Saya dan Murni menyempatkan diskusi bentar saling crosscek persiapan. Di dapur, bu Ngapiem (mamak Murni) mempersiapkan makan malam peserta menginap. Murni bergegas menyiapkan acara workshop malam ini. Rombongan mobil kedua dari jogja sampai. Mas Baning Prihatmoko (Jogja), mbak Cella (Jogja), mbak Esther (dari Bandung) dan Leoni (Jogja), dan Vella (Jogja) yang menaiki motor, bergabung dengan kami. Lalu beberapa menit kemudian rombongan mobil dari purwoharjo datang, Ibu Taty, dengan putranya adik Hamam, ibu Endah dan putranya, mba Wahyu, juga pak Bejo dan pak Haris. Berselang beberapa saat Pak Hary dan bu Wiwik  (Jogja) datang berboncengan membawa peralatan dan bahan untuk berjualan mie pentil di bazar esok hari. Mas Rudi (dari Jogja) datang agak malam. Total ada 23 peserta yang telah hadir dan bergabung di acara workshop malam ini.

Jam 18.40an, Kami semua berkumpul duduk melingkar di tikar bawah tenda. Sebagai pembukaan kami melakukan perkenalan semua peserta. Semua peserta saling menceritakan nama dan sedikit aktivitas masing-masing. Saya bercerita sedikit tentang Sekolah Pagesangan. Acara diakhiri dengan pembagian kamar dan tempat menginap. Kami berjanji berkumpul lagi jam 19.30 di tempat ini. Semua peserta bubar menuju rumah penginapan masing-masing.

Jam 19.30  peserta mulai berdatangan, ketika ku tanya semua sudah makan dan istirahat sejenak. Kami berkumpul kembali di bawah tenda. Peralatan dan bahan untuk workshop tempe koro sudah diletakkan di tengah-tengah arena. Murni memulai kelas membuat tempe koro. Murni menjelaskan bahan-bahan dan alat yang dibutuhkan, lalu menjelaskan secara rinci proses pembuatannya. Murni membuatkan bagan urutan kerja, dan membacakannya berulang supaya membantu peserta lebih mudah memahami proses pembuatannya. Lastri, Hesti, Windar, Heryanti dan Wulan membantu menyiapkan bahan dan alat-alat. Beberapa peserta mencatat dan mendokumentasikan proses yang dijelaskan Murni.  Proses pembuatan tempe dimulai dari perendaman benguk/koro selama 2 hari, dan sebaiknya air untuk merendam diganti tiap hari. Setelah direndam 2 hari, benguk dicuci dan dikukus, diklocopi kulit arinya, dan diiris supaya lebih tipis. Setelah tipis siap diragi. Proses malam ini telah sampai pada  tahap peragian.  Murni menuangkan ragi diatas benguk yang telah siap, selanjutnya dia mengaduknya sampai rata. Setelah rata, benguk siap dibungkus. Murni mengajarkan cara membungkus tempe dengan daun pisang sebagai inner dan daun jati sebagai outer, lalu dililit dengan tali dari gedebog pisang. Semua peserta terlibat aktif dan mencoba membungkus benguk yang telah diragi. Total benguk 5 kg untuk bahan belajar itu telah dibungkus oleh semua peserta. Meskipun listrik sempat padam sekitar 1 jam, tapi acara bungkus tempe tetap berlanjut dengan bantuan penerangan senter dan lampu HP. Workshop membuat tempe selesai jam 21.30. Peserta masih antusias ngobrol dan diskusi. Karena peserta masih belum mengantuk, kami memutuskan untuk melanjutkan acara dengan diskusi. Saya meminta mas Baning untuk bercerita dan memandu. Diskusi menjadi lebih hangat dengan kehadiran jahe panas di jumbo besar, juga  pop corn dan telo goreng pedas dan gurih olahan ibu Ngapiem dan mbak Kus. Diskusi mengalir, mas Baning mengajak kami melihat kembali ke persoalan benih, keberdayaan petani, diskusi ini cukup menarik, dan hampir semua peserta terlibat dalam diskusi dan saling menimpali. Setelah membahas benih, kami membahas juga tentang pengorganisasian anak, remaja petani.

Tak terasa waktu semakin larut, sebagian peserta pamit mundur dan beristirahat di rumah inap masing-masing. Sementara beberapa peserta (mas Baning, mas Bejo, mas Haris, mas Rudi saya dan mbak Imma) masih tegar untuk melanjutkan diskusi hingga larut. Sekitar jam 01 dini hari, kami memutuskan membubarkan diri dan tidur. Saya, mba Imma dan Leoni, tidur di rumah Murni.

Minggu, 8 Mei 2016

Jam 04.00  pergerakan sudah mulai terasa dari arah dapur. Bu Ngapiem, ayah Murni dan Murni mulai memasak menyiapkan sarapan. Mbak Imma sudah bangun duluan, saya selanjutnya, dan mba Leoni menyusul. Pagi itu saya masih punya tanggungan merampungkan display foto kegiatan anak-anak Sekolah Pagesangan. Melihat saya yang agak panic, mba Leoni dan mba Imma segera membantu, subuh itu kami bertiga berjibaku mengklasifikasi foto, menyortir berdasarkan tema serta menempel foto-foto ke kertas karton dan manila.

Jam 6 pagi peserta menginap sudah berdatangan. Pagi ini jadwal jalan-jalan keliling kampung dan melihat kebun-kebun. Karena pekerjaan display foto belum selesai, saya tidak menemani peserta, peserta ditemani oleh Lastri dan Livia. Acara jalan-jalan rampung sekitar jam 7.30, saya mempersilahkan mereka untuk sarapan di rumah inap masing-masing dan kembali lagi jam 8 pagi untuk mengikuti acara.

Pagi-pagi setelah subuh,bapak-bapak, bapak Murni, kang Mun, bapak Windar, bapak Hanan, bapak Wulan gotong royong memasang deklit untuk menyambung tenda suapaya seluruh lapangan tertutup atap, menghalau panas. Di saat yang sama kelompok ibu-ibu sudah mulai berdatangan, mereka datang membawa alat-alat dan bahan. Ada yang beramai-ramai menggotong meja besar (dari rumah atau meminjam dari balai dusun) untuk display makanan, ada yang membawa tungku, ada yang membawa arang dan kayu, panci, penggorengan dll. Pagi itu semua sibuk sekali. Sementara itu, Murni dan kawan-kawan gesit menyiapkan display hasil kebun. Rupanya Murni berhasil mengkoordinir dan memperoleh banyak rekanan petani wintaos untuk berkonsinyasi. Terbukti banyak sekali sayuran, serealia, umbi-umbian, juga olahan seperti tiwul instan yang akan dititip jual hari ini. Sayuran yang tersedia saat itu: kecipir, kacang panjang, tayuman, daun salam, daun so. Untuk pangan pokok ada jali-jali yang telah disosoh, beras merah hasil tutu (non giling), beras merah giling, tiwul instan (goge), gaplek. Ada 3 macam tempe yang didisplay hari ini, ada tempe benguk buatan bu Ngapiem, ada tempe botor buatan kelompok mamak Wulan dan yu Rutini, ada tempe kedelai buatan bu Ngapiem. Display  ada juga waluh, bligo, buah-buahan seperti sirsat, pisang-pisangan, dan jeruk bali. Display hasil bumi cukup banyak dan memenuhi satu sisi selatan lapangan voley, karena tak muat di atas meja, sebagian dijajar di lantai. Selain hasil bumi tersedia pula beberapa peralatan masak khas ndeso seperti tungku dan cobek dan ulegan.

Semua Alat dan bahan yang digunakan untuk acara ini adalah gotong royong dan swadaya masyarakat.  Setiap stand merupakan perwakilan RT. Semua stand telah bersepakat, Tiap RT menyiapkan secara mandiri meja, tungku, alat-alat memasak tradisional, dan semua bahan yang akan diolah. Waktu terus beranjak, sekitar jam 7.30 situasi mulai ramai, hampir semua stand telah terisi alat dan bahan memasak. Sebagian rupanya telah menyiapkan dan meracik bahan masakan dari rumah. sebelum jam 8 semua stand sudah siap di posisi masing-masing.

Teman-teman yang menginap, mulai bergabung di arena bazar. Ada yang melihat proses memasak.  Ada yang ngobrol dengan ibu-ibu. Ada pula yang melihat sayuran dan hasil bumi. Mbak Leoni dan mbak Imma dan Hanan bahu membahu dengan saya merampungkan display foto kegiatan SP. Usai dengan urusan foto, saya dan Lastri mengumpulkan dan mengatur display doorprize yang merupakan hasil sumbangan teman-teman.  Mas Rudi dan Hesti selaku MC mulai cuap-cuap ramai di panggung teras rumah Murni.


Menu Makanan Ala Ndeso

Stand
Menu
Harga
stand RT 01
Nasi Tiwul + Lodeh + tempe bacem
7.000/porsi
combro
1.000/buah
gathot
2.000/porsi
Stand RT 02
Nasi Merah + lodeh tempe Lombok ijo krecek + tempe bacem
7.000/porsi
Nasi tiwul + gudeg + urap + krupuk telo
7.000/porsi
Stand RT 03
Nasi jagung + botok + Gereh
7000/porsi
Minuman wedang secang dan jahe
2.000/gelas
Stand RT 04
bubur kacang ijo ketan hitam
5000/porsi
criping
5000 dan 10.000/plastik
Stand RT 05
nasi jagung + lodeh
7.000/porsi
gethuk kimpul  dan timus
1.000/buah
Stand RT 06
aneka kue dari bahan singkong: cemplon putri salju, kue ketupat, sate cemplon, cake singkong
1.000-2.000/porsi
Stand RT 07
nasi merah pecel. Gudeg gori dan tempe garit
7000/porsi
Es dawet
2000/gelas

Semua ibu- ibu sibuk memasak dan mendisplay makanan yang mateng. Tamu-tamu satu persatu berdatangan, ada yang rombongan membawa mobil, ada yang membawa motor. Halaman SD girimulya disiapkan menjadi kantong parkir untuk kendaraan para tamu.  

Mc terus bicara mengiringi kegiatan dapur ibu-ibu dan tamu yang menikmati masakan yang disajikan. Untuk memeriahkan acara, ratusan door prize hasil gotong royong (sopo duwe opo) mulai dibagikan. Satu persatu nomor yang disebut mendapatkan 1 doorprize, ada yang dapat bros batik, bando, syrup, pucha, tempe, mie ganyong, kerupuk dll. Tak hanya tamu yang mendapat door prize, warga Wintaos yang hadir, semua peserta dan ibu-ibu stand masakan juga mendapat doorprize.

Sekitar jam 09.00 WIB hujan mulai turun, kami agak heboh menyelamatkan barang-barang supaya tidak kehujanan, tapi proses memasak terus berlangsung, para tamu berteduh di bawah tenda, sambil menikmati dan menyantap makanan yang telah dipesan. Acara terus berlangsung meski hari hujan
Waktu terus belangsung tamu-tamu terus datang dan pergi. Tamu-tamu bebas berkeliling ke semua stand. Kami berusaha mendokumentasikan tamu yang hadir di buku tamu, walau ternyata gak semua tamu mau mengisi buku tamu.  Rata-rata jika ada tamu berombongan yang mengisi hanya 1 orang. Saya perkirakan total tamu yang hadir ada sekitar 200 orang, berasal dari latar belakang yang beragam.  Diantara tamu-tamu (non menginap) yang hadir, diantaranya: teman-teman pegiat Pasar sasen (mas Bimo, mba Imelda, mas Kun, Teh Nissa Wargadipura dari Garut, beserta para santrinya, ibu Johana EP dari Psikologi UGM Jogja beserta rombongan. Mba Laksmi, dari FIAN/UGM. Mas Cuk dari  Antro UGM beserta keluarga, Jogja. Mas Hery Fosil, kang Kandar, kang Roy dan teman-teman dari Semanu, Wonosari, Purwodadi, GK. Pak Anam beserta keluarga dan juga teman-temannya. Mas Rio dari bumi langit, teman-teman dari Sanata dharma, Ibu Janti @alterjiwo, Cipan dan teman-teman Pasar Kamisan,  Titha n Zaidil (pasar siliran), dll

Ibu-ibu stand masakan terus aktif memasak dan menyiapkan orderan makanan pesanan. Beberapa tamu melihat dan terlibat dalam proses memasak.

Menjelang siang, tamu masih datang dan pergi. Doorprize terus dibagikan. Kami berusaha berdialog dan menjamu semua tamu semampu kami. Hingga menjelang jam 13.00, doorprize tinggal yang utama, Lastri dan Hesti memberikan tambahan kuis untuk mendapatkan doorprize, ibu-ibu mulai terihat capek dan mulai menghentikan aktifitas memasak. Bahkan beberapa stand produk telah habis jadi memutuskan beres-beres. Acara ditutup jam 13.00. Banyak tamu masih tetep tinggal dan mengobrol santai dengan kami.

Hesti mengidentifikasi omset semua stand.  Murni mengkoordinir penghitungan omset hasil bumi. Stand RT 01 beromset Rp. 136.000. RT 02 beromset Rp. 180.000. RT 03 beromset 205.000. RT 04 beromset  Rp. 416.000. RT 05 beromset 141.000. RT 06 beromset 307.000. RT 07 beromset 450.000. Sementara itu stand hasil bumi beromset 1.040.000,-  sehingga dari bazar, total omset bazar 2.875.000, dan total kontribusi peserta menginap Rp. 1.680.000,-. Sehingga pada tanggal 8 Mei ada 4.555.000 yang masuk ke Dusun Wintaos.

Dari proses dan kegiatan ini, kami belajar dan membuktikan, dengan modal social saja kita mampu berdaya dan memberdayakan diri sendiri. Tanpa bantuan proposal sama sekali, kita mampu menyelenggarakan acara yang sederhana namun terbukti mampu menjadi menjadi media belajar bagi semua partisipan yang terlibat. Acara ini juga mampu menginisiasi dan menghidupkan ruang-ruang usaha berbasis pertanian di desa.




0 comments:

Post a Comment