Wednesday, July 27, 2016

Komunitas Membawa Cara

Murni Sang mandor kebun, di usia ke 18, murni berperan sebagai Koordinator kel anak-anak, koordinator kader juga Penghubung dan komunikator Kel anak dan ibu-ibu
***
Jika dihitung-hitung sejak komunitas SP dirintis akhir tahun 2008, hingga kini. Baik saat masih bernama Sekolah Sumbu Panguripan, maupun setelah menjadi Sekolah Pagesangan, sekitar 80an anak yang pernah bergabung, terlibat intens dalam kegiatan SP. Tapi, Jumlah itu tidak pernah konsisten. Selalu ada anak yang datang dan pergi. Seiring tahun berjalan, jumlah anak yang aktif cenderung mengalami penurunan. Puncak penurunan umlah anak yang aktif terjadi di tahun 2016. Tak habis jari tangan menghitung jumlah kader dan anak-anak yang aktif di tiap pertemuan. 
Bu Guru Muda Livia Lipio. Bangga mengolah lahan. sebagai wujud cinta tanah air dan desa
Ada banyak penyebab anak2 rontok dari SP. Diantaranya :
 • Dua (2) Pilihan paling jamak bagi remaja/jelang dewasa di Dusun Wintaos, terutama selepas SMP, adalah Bekerja( di kota) atau Menikah. Bekerja menjadi buruh di kota (Asisten Rumah tangga, babysitter, penjaga took/warung, bangunan dll) meski meninggalkan desa dan keluarga, nampak lebih menarik dan banyak dipilih remaja, pemuda dan pemudi. Bekerjadi kota mendapat gaji. Uang cash. Uang cash untuk memenuhi kebutuhan. Uang juga untuk membeli gaya hidup. Gaya hidup di kota tampak mengasyikan. Seperti menawarkan kemudahan dan fasilitas hidup. Terlihat Lebih keren. Sebagian besar masyarakat menganggap bekerja di kota, apapun pekerjaannya, tapi mendapat gaji tiap bulan, lebih terlihat menjanjikan dan keren dibanding bekerja di desa, bertani atau mengolah hasil panen. Paling tidak gaji yang ajeg tiap bulan bisa diandalkan.
• Menikah. Rata-rata usia menikah di dusun adalah 15- 18tahunan. Seringkali para gadis remaja jelang lulus SMP, ditawarin menikah oleh orangtua. Tapi beberapa anak memutuskan menikah karena kemauan sendiri. Beberapa dari mereka menikah karena sudah punya pacar dan gaksabar ingin segera menikah. Beberapa dari mereka menikah karena hamil dulu. Setelah menikah, rata-rata mereka memutuskan kegiatan /non aktif dari semua proses/kegiatan yang dulu digeluti saat lajang. Begitu pula dengan gadis-gadis muda tersebut. Setelah menikah, mereka off dari semua kegiatan, termasuk off dari SP
• Bagi remajayang berkesempatan meneruskan sekolaah, tidak bekerj, pun blm menikah, juga mengalami persoalan. Waktu habis untuk kegiatan akademis di sekolah. Mulai pagi hingga sore, anak2 berkegiatan penuh disekolah (formal). Praktek, mengerjakan tugas, ekstra, dll. Rasanya takada tenaga tersisa sesampainya di rumah. Lemes dan males melakukan kegiatan lain.
• Pubertas . Agak mengherankan jika pubertas turut menjadi alasan keluar dari SP. Tapi memang nyata terjadi. Pubertas menjadi masa yang sulit bagi remaja. Persoalannya, Ada kesenjangan Nilai dan prioritas antara Pribadi dengan komunitas SP. Di usia dibawah 20 tahun, akal sehat belum sepenuhnya terbentuk. Sehingga selanjutnya remaja cenderung memilih yang membuat mereka nyaman. Remaja puber, cenderung memilih hal yang Nampak menyenangkan di depan mata meskipun artificial, dibanding hal yang realistis namun perlu perjuangan/pengorbanan, meski penting untuk masa depan hidup mereka.
• Tema belajar SP tentang pertanian, dianggap kurang kekinian, jadul dan identik dengan orangtua. Bertani juga tidak bisa menghasilkan uang dalam tempo dekat, juga butuh aktifitas fisik
• Konflik antar personil. Pada beberapa kasus ditemui, beberapa anak/juga orangtua yang berkonflik dengan yang lain, enggan berkegiatan bersama. Begitu pula di SP. Bahkan, Beberapa orangtua yang berkonflik melarang anaknya berkegiatan bersama dengan ‘lawan dan keluarganya’
menabur benih
• Tidak didukung ortu. Beberapa ortu yang belum mengenal SP dengan baik, belum mengerti tujuannya, belum merasakan manfaatnya, tak jarang melarang atau tidak mendukung anak-anak mereka terlibat dan aktif di SP
Alasan-alasan diatas umumnya melatari off nya anak, pemuda pemudi remaja dari SP. Seringkali alasan diatas Tak berdiri sendiri dan antar alasan bisa saling terkait. Meskipun SP sudah diakrabi sejak mereka masih cilik, tapi hidup yang dinamis membuat mereka sering dihadapkan pada pilihan-pilihan. Satu persatu pergi.
‘Ditinggakan’ membawa kesedihan dan sentimentil. Selama merintis kegiatan bersama, merancang masa depan bersama, bersama pula membangun visi. Pertemuan yang intens, hubungan akrab kami melebihi sekedar kawan. Saling bekerjasama, belajar, gojegan dan bermain. Lebih jauh, Kami bertumbuh bersama. Kalau tidak baper, atau tak merasa sedih ditinggal/berpisah justru aneh, gak manusiawi. Rasa sedih hanya bisa disembuhkan oleh waktu. Selanjutnya, mau gakmau harus kembali ke realita. Hidup adalah pilihan. Anak, pemuda-pemudi remaja yang meninggalkan SP sudah membuat pilihan untuk hidup mereka. Belajar dari mereka, Hidup harus berlanjut. Anak-remaja yang masih ada di SP masih memerlukan perhatian dan proses belajar
 *** 
Mati Satu Tumbuh Seribu ~Kelompok Anak TPA~
 

Istirahat di kebun
Kebahagiaan yang tersisa dari ditinggalkan, bahwa ’ yang tersisa’ ternyata justru menunjukan loyalitas dan militansi kuat dalam berjuang. Seperti seleksi alam, yang terkuat adalah yang bertahan. Dan proses dilanjutkan oleh anak-anak yang kuat itu. Beberapa bulan lalu, Saya, Murni, Livia, Wulan, Heryanti, 4 kader Anak perempuan yang ‘terkuat’,berembug terkait strategi perekrutan dan pengorganisasian kelompok anak yang baru. 
Kami memutuskan memakai jalur TPA (Taman Belajar Al-quran). Karena sejarah pendirian TPA di Dusun WIntaos tidak terlepas dari peran Livia dkk, yang notabene kader SP. Livia dkk diusia masih remaja telah mampu menginisiasi, mengorganisir dan mengajar anak-anak di TPA. Hingga kini ada TPA yang diasuh livia, murni dan wulan telah beranggotakan 40an anak. Di awal proses, kami merancang kembali muatan, kurikulum dan program TPA. 
Kami memasukkan pelajaran berkebun di TPA. Dengan dasar, berkebun sebagai upaya belajar mencintai dan merawat makhluk Allah. Menanam, merawat alam dan merawat kkehidupan adalah salah satu kewajiban dalam islam. Sehingga kami mantab memasukkan kegiatan berkebun. Selain berkebun, kami juga merancang kegiatan yang asyik supaya anak-anak merasa senang dan enjoy belajar di TPA. Kami merancang kegiatan nonton film bersama, demo masak untuk anak, lomba memasak, rekreasi, lomba berkebun. 
Rancangan kegiatan ini kami kabarkan ke walimurid, sebagian dari mereka menyambut baik, tapi banyak juga yang mempertanyakan mengapa harus ada acara yang ‘aneh2’ diluar baca tulis quran? Pertanyaan umum dari mereka, “Bukankah tujuan diadakannya TPA supaya belajar quran?” Kami jelaskan sebisanya, sebagian dari mereka memahami, sebagian tidak, bahkan cenderung mencekal dan menjegal rancangan program baru tersebut. 
Kami terus maju, lambat laun, sedikit demisedikit. Kadang maju 2 langkah, kadang mundur 4 langkah…taka pa, yang saya lihat para kader tetep semangat.  Kabar terbaru dari livia, yang dia tulis di koment status saya tanggal 22 july jam 14 :38 :
mbak diah,kan hari selasa gak jadi saya bagiin yg tempat nandurnya.karna yg TPA gak smua dateng.tp saya bagiin hari kamis,ternyata smua santri2 sampai orangtuanya pada antusias bgt mbk,,ada yg pada rebutan.wahh pkoknya joss hehe

Kelompok Ibu-ibu melalui Usaha Kecil Olahan Panen
Berperan para Ibu
Kelompok ibu2 dirintis melalui pintu masuk melalui berbagi peran dalam olahan paska panen. Prinsip yang saya pegang dalam bekerja di komunitas : Komunitas yang bermanfaat /dibutuhkan oleh masyarakat akan menemukan cara untuk terus bertahan dan berjalan. Untuk konteks SP, apapun yang terjadi, Proses terus berjalan. Dinamika kelompok menuntun kami mengenal dan berkolaborasi dengan beberapa pihak. Pasar-pasar organic di Jogjakarta adalah jaringan pasar kami saat ini. Kami memulai menjadi suplayer untuk beberapa produk hasil kebun. Untuk memenuhi permintaan pasar, terutama terkait beberapa jenis tanaman pokok seperti olahan singkong (tepung gaplek dan tiwul), jali, beras merah, aneka olahan criping dan buah-buahan. Untuk mensuply semua produk tersebut, tidak mungkin dipenuhi sendiri oleh kelompok anak.
Bapak membantu kerja
 Kami menggaet kelompok orangtua(/bapak) ibu-ibu yang kesemuanya petani. Proses bergulir. Sampai terbentuk 7 kelompok ibu-ibu dari 7 RT yang bergabung. Ibu-ibu ini bersedia belajar dan bekerja bersama untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Masing-masing kelompok punya spesifikasi khusus mengolah hasil panen masing-masing. Ada kelompok yang khusus mengolah aneka hasil kebun untuk jadi aneka criping (criping pisang, criping singkong, bayam, dll). Ada pula kelompok yang membuat tepung mocaf. Ada kelompok yang membuat tiwul instan. Ada kelompok yang khusus menyediakan buah-buahan mentah. Ada kelompok yang khusus sebagai penyelia makanan pokok seperti jali, beras merah dll.
Negara mawa tata, desa mawa cara, tanpa saya sadari, suatu program yang dimiliki komunitas akan selalu menemukan cara untuk bertahan hidup. Dengan catatan Jika program komunitas tersebut bukan sekedar komunitas basabasi. Jika memang benar dibutuhkan oleh masyarakat, Masyarakat dan anggota komunitas sendirilah yang akan memelihara dan merawatnya.
memanen ketela pohon


*) terimakasih untuk diskusinya Aan Subhansyah dan Transpiosa Riomandha


author: Diah Widuretno

0 comments:

Post a Comment