SEKOLAH PAGESANGAN DALAM PANDANGAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Marcellina Dwi
Kencana Putri
(Master Student of Cultural Anthropology Gadjah Mada University)
Sebuah
Pengalaman
Melihat
pola kehidupan masyarakat lain menurut perspektif saya sendiri yang merasa
berada di dunia yang asing dan kemudian merangkainya dalam suatu tulisan dengan
melihat konteks perilaku masyarakat tersebut membantu saya untuk mendefinisikan
penelitian etnografi. Pengalaman tinggal bersama dengan masyarakat di Dusun Wintaos,
Desa Girimulya yang
terletak di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta juga
menyisakan sebuah cerita bagi saya yang sehari-hari hidup di kota Yogyakarta.
Dalam perjalanan yang ditempuh dari Jalan Imogiri, saya dan teman-teman yang
baru saya kenal untuk menghadiri kegiatan yang diadakan Sekolah Pagesangan,
sebuah kelompok atau komunits belajar yang digagas oleh mbak Diah Widuretno,
atau sering dipanggil mbak Eno, kami menempuh perjalanan sekitar 1-1,5 jam
dengan kondisi jalan yang menanjak dan meliuk-liuk supaya kendaraan tidak
kehabisan energi melawan gravitasi. Dari bukit-bukit yang mampu kami tempuh
ini, terlihat lampu-lampu kota di Yogyakarta yang memberikan sinyal adanya
kehidupan di bawah sana.
Warga
desa menyambut para tamu-tamunya dengan memberikan suguhan makanan dan minuman
seperti teh hangat, singkong rebus, dan juga jagung letup yang bentuknya
seperti pop corn dengan garam sebagai
bumbunya. Hadirnya Sekolah Pagesangan di desa ini adalah untuk menjawab
tantangan zaman yang menuntut anak-anak perempuan di desa untuk segera menikah
dan lepas dari tanggung jawab orang tua, atau harus merantau karena kebutuhan
material yang menyesakkan warga. Namun di desa
ini, walaupun tinggal di wilayah kapur yang saat musim kemarau mengalami
kekeringan akut, masyarakat disini masih menanam palawija dan beras di tegalan
atau ladang mereka yang mampu bertahan bahkan ketika air sangat sedikit untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menariknya lagi, masyarakat desa tidak
menjual beras mereka namun disimpan untuk persediaan makan mereka dalam setahun
menyambut musim kemarau panjang. Kalau ada yang dijual untuk mencari
penghasilan pun, biasanya singkong atau ketela yang hanya tumbuh di musim-musim
tertentu. Singkong dan palawija hanya tumbuh dan panen setahun sekali. Palawija
dan kacang-kacangan banyak diolah oleh ibu-ibu di desa sebagai bahan untuk membuat makanan
pokok, seperti tempe dari kacang benguk, tiwul, nasi jagung, rengginang, dan
banyak makanan yang namanya sulit saya hapalkan karena tidak ditemukan di kota.
Sebuah
undangan yang dibagikan lewat akun Facebook
seorang teman bernama Diah Widuretno lah yang membawa saya sejauh 36-40 kilometer dari pusat kota
Yogyakarta untuk menghadiri kegiatan bertajuk “Mengembalikan Citarasa Pangan
Lokal” yang diadakan pada tanggal 8 Mei oleh Sekolah Pagesangan. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengundang peminat makanan lokal, komunitas hingga penggiat
makanan dan pertanian yang tertarik untuk mempelajari pengolahan tanaman lokal
menjadi pangan yang sehat.
Saya
sendiri memilih untuk hadir sehari lebih awal untuk mengikuti lokakarya
pembuatan tempe dari kacang benguk bersama peserta lainnya yang berasal dari
Yogyakarta, Bandung, Jombang, Purworejo, dan Surabaya. Malam hari para yang
duduk melingkar di bawah tenda yang telah disiapkan di lapangan tempat besok
akan dilaksanakan pameran pangan lokal. Selain para peserta yang terlihat
datang dengan beberapa anak mereka, hadir pula disana para anak-anak jebolan
Sekolah Pagesangan bersama mbak Eno. Kami semua disitu memperkenalkan diri satu
per satu dan menjelaskan alasan bagaimana mereka bisa sampai di acara tersebut.
Tawa pecah diantara kita dan suasana menjadi semakin mencair ketika kami mulai
membuat tempe bersama anak-anak Sekolah Pagesangan.
Mereka
nampak percaya diri dengan materi yang mereka bawakan tentang langkah-langkah
pengolahan kacang benguk, salah satu tanaman rambat yang cukup mudah tumbuh di
lahan mereka, hingga dapat dijadikan sebagai tempe. Mereka juga telah menyiapkan
berbagai bahan mulai dari kacang benguk yang sudah difermentasi menggunakan
ragi selama semalaman, lalu pembungkus yang terdiri atas daun jati yang sudah
dikeringkan dan dibersihkan dan pengikat dari serat tanaman. Satu-satunya lampu yang menyinari kami dalam
sesi lokakarya ini mendadak mati namun semua peserta yang masih bersemangat
melanjutkan pembuatan tempe ini kemudian menggunakan penerangan seadanya, mulai
dari handphone, lilin, semua
dikerahkan hingga lampu kembali menyala dan kami semua hampir selesai
menghabiskan lima kilogram kacang benguk fermentasi.
Tentang
Sekolah Pagesangan : Pengantar
Sekolah
Pagesangan yang digagas oleh mbak Eno di dusun Wintaos, Desa Girimulya telah berjalan
sekitar 9 tahun dan ketika saya tanyakan apa yang membuat mbak Eno mau
membimbing dan mengabdikan dirinya untuk desa kecil di atas bukit karst ini,
jawabannya sangat mengagetkan saya, katanya “Saya bukan pembimbing, saya
belajar bersama mereka, justru saya merasa saya yang lebih banyak belajar bersama anak-anak dan orangtua”. Mbak Eno mengaku
bahwa dia datang ke desa ini untuk melihat realita kemiskinan yang ada di desa
kecil yang selalu mengalami kesulitan air bersih di kala musim kemarau tiba.
Bukan hanya mbak Eno yang terpanggil, di pagi hari setelah kami menginap semalam
di rumah salah satu penduduk, saya dan beberapa teman mendapati waduk buatan
yang sudah ditemboki oleh semen dan cor, dan sekelilingnya ditumbuhi pohon
trembesi yang punya nilai produktif. Vella, salah satu mahasiswi Antropologi
yang lulusan Sarjana Kehutanan UGM yang ikut bersama kami mengatakan kalau
waduk buatan ini dibuat oleh pemerintah dan diresmikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang identik mempopulerkan pohon trembesi untuk ditanami oleh
masyarakat. Harapan pak Presiden mungkin supaya kalau warga terdesak untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, dengan menanam pohon produktif mereka dapat
sewaktu-waktu menebang dan menjual kayunya. Lantas begitukah cara masyarakat
mampu bertahan hidup di lahan yang terdiri atas batuan kapur?
Waduk
ini sendiri memiliki arti yang sangat penting untuk warga sekitar terutama di
musim kemarau panjang. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti
mandi, mencuci dan memasak, keberadaan waduk ini penting sebagai penampung air
dari pohon-pohon di sekitarnya. Sehingga, sangat penting untuk para warga untuk
tidak menanam pohon yang mempunyai nilai ekonomis saja, tapi juga harus
memikirkan tentang pohon yang bersifat menyimpan air. Pohon-pohon yang
berfungsi untuk menympan air sangat penting untuk menjaga keberlangsungan
persediaan air di dusun Wintaos. Sementara, para masyarakat dusun Wintaos ini
kebanyakan menanam pohon jati untuk investasi tahunan sebab lebih mudah dijual
dan mendatangkan penghasilan uang tunai bagi mereka. Menurut mbak Diah, setiap
Kepala Keluarga (KK) di dusun Wintaos memiliki kebun atau hutan Jati, yang
biasanya dipanen dalam 5 sampai 20 tahun, padahal pohon Jati terbilang pohon
yang rakus air. Jadi diversifikasi penanaman perlu juga diperhatikan demi
ketersediaan sumber daya air bagi masyarakat dusun Wintaos.
Mbak
Eno bukan seorang geologis, maupun seorang peneliti ilmu sosial atau antropolog
yang memiliki tanggung jawab menjawab permasalahan kemiskinan dan cara
menghadapi kondisi geografi yang unik disertai perubahan iklim. Mbak Eno menempuh
gelar Sarjana di Institut Pertanian Bogor, lantas kembali kemana dia berasal
yaitu Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah di jurusan Mikrobiologi. Ketika
memutuskan untuk datang ke desa Panggang dan menjawab tantangan dan
permasalahan yang ada, mungkin mbak Eno tidak pernah memutuskan sampai kapan
dia akan terus berkegiatan disana. Satu yang membuat dia merasa betah menurut
saya adalah karena beliau juga merasa mendapatkan ilmu dari masyarakat desa
ini, bahkan dari mereka yang lebih muda dan tidak memiliki latar belakang
pendidikan seperti anak perkotaan. Tapi anak-anak ini banyak belajar dari alam,dari
orangtua mereka yang memiliki budaya dan kearifan lokal sehingga mampu
menghadapi kesulitan dan tantangan alam yang membuat
mereka lebih belajar cara bertahan hidup. Salah satunya adalah dengan bertani,
yang menghubungkan manusia dengan alam, dan juga mbak Eno dengan anak-anak di
desa Wukirsari. Harapan mbak Eno selama belajar bersama dengan masyarakat
adalah agar anak-anak muda tidak pergi ke kota untuk mencari kerja, tapi
kembali mengolah lahan mereka untuk bertani dan kembali bersatu dan mengolah
alam mereka. Walaupun desa ini dikategorikan miskin, Mbak Eno bisa melihat hal lain,
bahwa setelah berproses bersama ia mampu belajar betapa kaya cara mereka
bertahan dan beradaptasi dengan alam.
Pendidikan
berbasis komunitas yang dilakukan oleh Sekolah Pagesangan tidak memiliki
struktur organisasi, Anggaran Dasar Rumah Tangga, maupun donor dan juga tidak
menerima hibah. Sehingga kalau kita membayangkan Sekolah Pagesangan sebagaimana
sekolah yang kita kenal pada umumnya, walaupun sekolah sendiri telah mengalami
berbagai pergeseran makna dan bentuk, tetap Sekolah Pagesangan ini mampu
membuat kita tercengang, sebab bagaimana bisa mbak Eno menjalankan sekolah ini tanpa
adanya peraturan dan struktur organisasi yang jelas selama sembilan tahun? Apa
tidak ada niatan mbak Eno untuk menerima dana hibah dari organisasi donor yang
mampu menyediakan dana operasional ataupun membangun fisik atau bangunan untuk
Sekolah Pagesangan? Bagaimana lantas mbak Eno mampu mendanai biaya operasional
yang dibutuhkan untuk terus menjalankan berbagai kegiatan di desa tersebut?
Setelah
berbincang-bincang lebih jauh tentang Sekolah Pagesangan (SP), dan bagaimana
mereka mampu bertahan adalah karena masyarakat menjadi modal dari berjalannya
komunitas ini. Kebutuhan mereka terhadap pendidikan lah yang membuat masyarakat
mendukung aktivitas Sekolah Pagesangan. Dukungan berupa sumber daya atau modal
sosial (social capital) berasal dari
masyarakat sendiri, dan komunitas akan menentukan jenis dan bentuk pendidikan
yang sesuai berdasarkan akar budaya, sejarah dan sosial mereka. Sehingga
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan
konteks persoalan dan juga tidak berjarak dengan apa yang mereka lakukan
sehari-hari. Masyarakat pun ikut berpartisipasi dalam merumuskan apa yang akan
dipelajari, dimana, dan sumber pendukung apa yang bisa dihadirkan untuk proses
belajar. Baik kelompok dewasa maupun anak-anak diberikan ruang diskusi mencoba
menggali potensi dan budaya yang dimiliki desa sehingga ketika memilih bertani,
anak-anak dan orang dewasa menyadari bahwa kegiatan bertanilah yang kontekstual
untuk menghadapi kebutuhan dan persoalan hidup mereka.
Anak-anak
yang berpartisipasi dalam pendidikan berbasis komunitas ini juga mengenyam
pendidikan di sekolah formal seperti anak-anak pada umumnya. Beberapa di antara
mereka bahkan terpaksa meninggalkan kegiatan SP karena harus menempuh
pendidikan lebih tinggi dan harus pergi ke kota agar bisa melanjutkan sekolah
di institusi pendidikan formal setaraf SMA atau SMK. “Rasanya sedih ya ketika
anak-anak tersebut satu per satu pergi, mereka sudah saya dampingi selama
bertahun-tahun dan karena berbagai alasan akhirnya memilih untuk pergi ke kota
juga”, kira-kira begitu curhatan mbak Eno ketika ditanyai tentang dinamika
antara anak-anak SP dan mereka. “Karena mereka masih remaja, jadi bisa saja
mereka lalu memutuskan pindah ke kota karena misalnya putus dengan pacarnya,
atau ingin tinggal di kota karena mau mencoba hal-hal baru” lanjutnya lagi.
Mbak Eno yang mengajak anak-anak perempuan di dusun Wintaos untuk kembali
menanam dan mengolah lahan mereka, hingga ke cara-cara mempertahankan
keanekaragaman hayati yang mereka miliki dengan mengajarkan mereka berbagai
jenis olahan pangan lokal yang bahan dasarnya berasal dari sekitar rumah
mereka, pastinya kecewa ketika perubahan terjadi diantara anak-anak ini.
Akses
terhadap informasi serta modernisasi lewat televisi, handphone dan jaringan internet bukanlah sesuatu yang asing bahkan
untuk anak-anak Sekolah Pagesangan. Memang dalam satu sisi, informasi ini
dibutuhkan bagi anak untuk bercita-cita tinggi dan memiliki mimpi untuk dapat
hidup lebih sejahtera. Sudah umum bahwa para orang tua berharap
anak-anak mereka dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan bisa bekerja
di kota, dengan harapan anak mereka bisa menghasilkan lebih dari yang mereka
peroleh di desa dan bisa mengubah nasib keturunan mereka yang dulunya petani.
Kesejahteraan seringkali hanya dihubungkan dengan materi, sehingga yang terjadi
adalah budaya konsumtif sarat materialisme yang hanya semakin menghilangkan
kebudayaan bertani dan mengolah alam. Lahan beralih fungsi dari sawah atau
ladang pertanian menjadi perumahan, jalan raya, hingga ke bandara. Dalam kurun
waktu 10 tahun saja, Indonesia sendiri telah kehilangan 5 juta petaninya (BPS,
2013). Kekhawatiran akan krisis petani muda dan tidak adanya regenerasi petani
ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia sebagai akibat dari industrialisasi dan
kapitalisme yang dilatar belakangi pula oleh budaya patriarki. Krisis ekologi yang terjadi saat ini
disebabkan pembangunan yang berpusat pada sistem patriarki lewat praktik-praktik eksploitasi yang
dilakukan oleh Multi National Corporations
(MNCs) dan juga pemerintah. Penduduk di seluruh dunia hanya memiliki 0,17
hektar lahan dan sisanya dimiliki oleh negara dan agen-agen pembangunan. 85%
petani di Indonesia tidak memiliki lahannya sendiri dan hanya bekerja sebagai
buruh tani di lahan milik negara atau perusahaan (KPA,2013).
Sekolah Pagesangan dari Pandangan
Antropologi Pendidikan
Konsep pendidikan berbasis komunitas seperti
Sekolah Pagesangan boleh jadi memberikan alternatif kepada masyarakat mayoritas
petani sebab mereka membutuhkan penerus melalui regenerasi pendidikan serta
pengetahuan tentang budaya bertani yang telah diwariskan turun temurun dan
menjadi sumber kehidupan bukan hanya bagi kelompok petani melainkan bagi
seluruh umat manusia. Pentingnya peran petani ini memang tidak banyak diakui
bahkan disadari oleh masyarakat moden yang umumnya membeli makanan jadi atau instan di supermarket atau convenience store. Oleh karena itu lewat
pendidikan, antropologi berusaha melihat bagaimana kontribusi ilmu ini terhadap
sistem pendidikan di Indonesia yang telah melahirkan kebudayaan pragmatis pada
masyarakat modern. Bukan saja kepada anak-anak melainkan juga pada orang tua
mereka yang ingin mencetak generasi-generasi high technology.
Untuk
menjelaskan pendidikan dari kacamata antropologi, saya ingin meminjam sebuah
definisi yang digunakan oleh Prof. PM Laksono, yang menjelaskan bahwa
pendidikan antropologi memahami bahwa pendidikan sifatnya selalu dinamis sebab
obyek dan subyek yang selalu bergeser sehingga pendidikan antropologi bersifat
pengetahuan yang reflektif dan apresiatif, untuk menemukan eksistensi manusia
itu sendiri. Usaha-usaha yang hendak dicapai lewat pendidikan antropologi
melalui apresiasi dapat ditempuh dengan usaha pengembangan manusia yang
mengarahkan kepada sasaran-sasaran yang lebih substansial dan berempati
terhadap hidup manusia itu sendiri daripada ke arah hidup material yang
praktis. (Laksono,2013)Mengutip pula apa yang dikemukakan oleh M. Sastraprateja
mengenai pendidikan antropologi, bahwa pendidikan harus berlandaskan aspek
historis manusia akan hakekat hidupnya. Bahwa eksistensi manusia erat
hubungannya antara aspek historis di masa lampau untuk mampu menghadapi masa
depan. Sehingga pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada arah kemajuan
teknlogi dan ilmu pengetahuan saja tapi juga reflektif terhadap usaha pemahaman
diri sendiri melalui konteks historisnya. Beliau juga ikut merumuskan bahwa
dalam pendidikan antropologi, dibutuhkan tiga kesadaran atau prinsip yakni (1)
Pengetahuan manusia bersifat historis,(2) Menekankan pendidikan terhadap
“proses” bukan hanya “produk”, kemudian (3) menyadarkan kembali pentingnya
pengetahuan historis pada pelajar untuk melihat sejarah sebagai akar masalah
masa kini. (Bernas, 21 Februari 1997:2).
Pendidikan
berbasis wawasan antropologi ini menurut saya sangat relevan dalam melihat
bagaimana Sekolah Pagesangan sebagai sebuah pendidikan alternatif hadir
ditengah masyarakat yang memiliki sejarah sebagai kaum petani yang memiliki
pengetahuan dan adaptasi tinggi terhadap lingkungan yang sulit untuk ditanami.
Pengetahuan terhadap alam sifatnya sangat kontekstual dan hanya dapat
dipelajari melalui proses panjang yang kemudian diturunkan dari generasi ke
generasi. Untuk memahami kekayaan pengetahuan tersebut, tentunya dibutuhkan
apresiasi, yang salah satunya dibawa oleh Mbak Eno kepada anak-anak Sekolah
Pagesangan yang menyadarkan akan pentingnya anak-anak tersebut meneruskan
kembali pengetahuan setempat mengenai cara mengolah tanah lewat bertani. Tentu
dibutuhkan inovasi dan penyesuaian dengan teknologi yang sudah ada, agar
membuat anak-anak kemudian ikut termotivasi dan mampu mengikuti ritme perubahan
zaman. Usaha Mbak Eno mengajak para pendatang dari kota untuk menyaksikan hasil
proses belajar mereka juga menjadi penting untuk saling menginspirasi, baik
bagi masyarakat perkotaan maupun anak-anak desa. Menutup tulisan ini, saya
ingin mengutip kalimat terakhir dari Prof. Laksono, yaitu pendidikan
antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan
proses kreatif saling percaya dan saling belajar antara murid dan guru.
Pendidikan antropologi sangat ideal bagi saya untuk memecahkan berbagai masalah
yang terjadi di sekitar kita dan tentunya untuk mengatasi masalah di masa
mendatang.
Laksono,P.M., Konstektualisasi (Pendidikan) Antropologi
Indonesia. Jurnal Komunitas 5 (1) (2012) : 101-111.
0 comments:
Post a Comment