Wednesday, July 27, 2016

SEKOLAH PAGESANGAN DALAM PANDANGAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN



oleh :
Marcellina Dwi Kencana Putri

(Master Student of Cultural Anthropology Gadjah Mada University)

 


Sebuah Pengalaman
Melihat pola kehidupan masyarakat lain menurut perspektif saya sendiri yang merasa berada di dunia yang asing dan kemudian merangkainya dalam suatu tulisan dengan melihat konteks perilaku masyarakat tersebut membantu saya untuk mendefinisikan penelitian etnografi. Pengalaman tinggal bersama dengan masyarakat di Dusun Wintaos,  Desa Girimulya yang terletak di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta juga menyisakan sebuah cerita bagi saya yang sehari-hari hidup di kota Yogyakarta. Dalam perjalanan yang ditempuh dari Jalan Imogiri, saya dan teman-teman yang baru saya kenal untuk menghadiri kegiatan yang diadakan Sekolah Pagesangan, sebuah kelompok atau komunits belajar yang digagas oleh mbak Diah Widuretno, atau sering dipanggil mbak Eno, kami menempuh perjalanan sekitar 1-1,5 jam dengan kondisi jalan yang menanjak dan meliuk-liuk supaya kendaraan tidak kehabisan energi melawan gravitasi. Dari bukit-bukit yang mampu kami tempuh ini, terlihat lampu-lampu kota di Yogyakarta yang memberikan sinyal adanya kehidupan di bawah sana.
Warga desa menyambut para tamu-tamunya dengan memberikan suguhan makanan dan minuman seperti teh hangat, singkong rebus, dan juga jagung letup yang bentuknya seperti pop corn dengan garam sebagai bumbunya. Hadirnya Sekolah Pagesangan di desa ini adalah untuk menjawab tantangan zaman yang menuntut anak-anak perempuan di desa untuk segera menikah dan lepas dari tanggung jawab orang tua, atau harus merantau karena kebutuhan material yang menyesakkan warga. Namun di desa  ini, walaupun tinggal di wilayah kapur yang saat musim kemarau mengalami kekeringan akut, masyarakat disini masih menanam palawija dan beras di tegalan atau ladang mereka yang mampu bertahan bahkan ketika air sangat sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menariknya lagi, masyarakat desa tidak menjual beras mereka namun disimpan untuk persediaan makan mereka dalam setahun menyambut musim kemarau panjang. Kalau ada yang dijual untuk mencari penghasilan pun, biasanya singkong atau ketela yang hanya tumbuh di musim-musim tertentu. Singkong dan palawija hanya tumbuh dan panen setahun sekali. Palawija dan kacang-kacangan banyak diolah oleh ibu-ibu di desa sebagai bahan untuk membuat makanan pokok, seperti tempe dari kacang benguk, tiwul, nasi jagung, rengginang, dan banyak makanan yang namanya sulit saya hapalkan karena tidak ditemukan di kota.
Sebuah undangan yang dibagikan lewat akun Facebook seorang teman bernama Diah Widuretno lah yang membawa saya sejauh 36-40 kilometer dari pusat kota Yogyakarta untuk menghadiri kegiatan bertajuk “Mengembalikan Citarasa Pangan Lokal” yang diadakan pada tanggal 8 Mei oleh Sekolah Pagesangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengundang peminat makanan lokal, komunitas hingga penggiat makanan dan pertanian yang tertarik untuk mempelajari pengolahan tanaman lokal menjadi pangan yang sehat.
Saya sendiri memilih untuk hadir sehari lebih awal untuk mengikuti lokakarya pembuatan tempe dari kacang benguk bersama peserta lainnya yang berasal dari Yogyakarta, Bandung, Jombang, Purworejo, dan Surabaya. Malam hari para yang duduk melingkar di bawah tenda yang telah disiapkan di lapangan tempat besok akan dilaksanakan pameran pangan lokal. Selain para peserta yang terlihat datang dengan beberapa anak mereka, hadir pula disana para anak-anak jebolan Sekolah Pagesangan bersama mbak Eno. Kami semua disitu memperkenalkan diri satu per satu dan menjelaskan alasan bagaimana mereka bisa sampai di acara tersebut. Tawa pecah diantara kita dan suasana menjadi semakin mencair ketika kami mulai membuat tempe bersama anak-anak Sekolah Pagesangan.
Mereka nampak percaya diri dengan materi yang mereka bawakan tentang langkah-langkah pengolahan kacang benguk, salah satu tanaman rambat yang cukup mudah tumbuh di lahan mereka, hingga dapat dijadikan sebagai tempe. Mereka juga telah menyiapkan berbagai bahan mulai dari kacang benguk yang sudah difermentasi menggunakan ragi selama semalaman, lalu pembungkus yang terdiri atas daun jati yang sudah dikeringkan dan dibersihkan dan pengikat dari serat tanaman.  Satu-satunya lampu yang menyinari kami dalam sesi lokakarya ini mendadak mati namun semua peserta yang masih bersemangat melanjutkan pembuatan tempe ini kemudian menggunakan penerangan seadanya, mulai dari handphone, lilin, semua dikerahkan hingga lampu kembali menyala dan kami semua hampir selesai menghabiskan lima kilogram kacang benguk fermentasi.
Tentang Sekolah Pagesangan : Pengantar
Sekolah Pagesangan yang digagas oleh mbak Eno di dusun Wintaos, Desa Girimulya telah berjalan sekitar 9 tahun dan ketika saya tanyakan apa yang membuat mbak Eno mau membimbing dan mengabdikan dirinya untuk desa kecil di atas bukit karst ini, jawabannya sangat mengagetkan saya, katanya “Saya bukan pembimbing, saya belajar bersama mereka, justru saya merasa saya yang lebih banyak belajar bersama anak-anak dan orangtua”. Mbak Eno mengaku bahwa dia datang ke desa ini untuk melihat realita kemiskinan yang ada di desa kecil yang selalu mengalami kesulitan air bersih di kala musim kemarau tiba. Bukan hanya mbak Eno yang terpanggil, di pagi hari setelah kami menginap semalam di rumah salah satu penduduk, saya dan beberapa teman mendapati waduk buatan yang sudah ditemboki oleh semen dan cor, dan sekelilingnya ditumbuhi pohon trembesi yang punya nilai produktif. Vella, salah satu mahasiswi Antropologi yang lulusan Sarjana Kehutanan UGM yang ikut bersama kami mengatakan kalau waduk buatan ini dibuat oleh pemerintah dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang identik mempopulerkan pohon trembesi untuk ditanami oleh masyarakat. Harapan pak Presiden mungkin supaya kalau warga terdesak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, dengan menanam pohon produktif mereka dapat sewaktu-waktu menebang dan menjual kayunya. Lantas begitukah cara masyarakat mampu bertahan hidup di lahan yang terdiri atas batuan kapur?
Waduk ini sendiri memiliki arti yang sangat penting untuk warga sekitar terutama di musim kemarau panjang. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci dan memasak, keberadaan waduk ini penting sebagai penampung air dari pohon-pohon di sekitarnya. Sehingga, sangat penting untuk para warga untuk tidak menanam pohon yang mempunyai nilai ekonomis saja, tapi juga harus memikirkan tentang pohon yang bersifat menyimpan air. Pohon-pohon yang berfungsi untuk menympan air sangat penting untuk menjaga keberlangsungan persediaan air di dusun Wintaos. Sementara, para masyarakat dusun Wintaos ini kebanyakan menanam pohon jati untuk investasi tahunan sebab lebih mudah dijual dan mendatangkan penghasilan uang tunai bagi mereka. Menurut mbak Diah, setiap Kepala Keluarga (KK) di dusun Wintaos memiliki kebun atau hutan Jati, yang biasanya dipanen dalam 5 sampai 20 tahun, padahal pohon Jati terbilang pohon yang rakus air. Jadi diversifikasi penanaman perlu juga diperhatikan demi ketersediaan sumber daya air bagi masyarakat dusun Wintaos.
Mbak Eno bukan seorang geologis, maupun seorang peneliti ilmu sosial atau antropolog yang memiliki tanggung jawab menjawab permasalahan kemiskinan dan cara menghadapi kondisi geografi yang unik disertai perubahan iklim. Mbak Eno menempuh gelar Sarjana di Institut Pertanian Bogor, lantas kembali kemana dia berasal yaitu Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah di jurusan Mikrobiologi. Ketika memutuskan untuk datang ke desa Panggang dan menjawab tantangan dan permasalahan yang ada, mungkin mbak Eno tidak pernah memutuskan sampai kapan dia akan terus berkegiatan disana. Satu yang membuat dia merasa betah menurut saya adalah karena beliau juga merasa mendapatkan ilmu dari masyarakat desa ini, bahkan dari mereka yang lebih muda dan tidak memiliki latar belakang pendidikan seperti anak perkotaan. Tapi anak-anak ini banyak belajar dari alam,dari orangtua mereka yang memiliki budaya dan kearifan lokal sehingga mampu menghadapi  kesulitan dan tantangan alam yang membuat mereka lebih belajar cara bertahan hidup. Salah satunya adalah dengan bertani, yang menghubungkan manusia dengan alam, dan juga mbak Eno dengan anak-anak di desa Wukirsari. Harapan mbak Eno selama belajar bersama dengan masyarakat adalah agar anak-anak muda tidak pergi ke kota untuk mencari kerja, tapi kembali mengolah lahan mereka untuk bertani dan kembali bersatu dan mengolah alam mereka. Walaupun desa ini dikategorikan miskin, Mbak Eno bisa melihat hal lain, bahwa setelah berproses bersama ia mampu belajar betapa kaya cara mereka bertahan dan beradaptasi dengan alam.
Pendidikan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Sekolah Pagesangan tidak memiliki struktur organisasi, Anggaran Dasar Rumah Tangga, maupun donor dan juga tidak menerima hibah. Sehingga kalau kita membayangkan Sekolah Pagesangan sebagaimana sekolah yang kita kenal pada umumnya, walaupun sekolah sendiri telah mengalami berbagai pergeseran makna dan bentuk, tetap Sekolah Pagesangan ini mampu membuat kita tercengang, sebab bagaimana bisa mbak Eno menjalankan sekolah ini tanpa adanya peraturan dan struktur organisasi yang jelas selama sembilan tahun? Apa tidak ada niatan mbak Eno untuk menerima dana hibah dari organisasi donor yang mampu menyediakan dana operasional ataupun membangun fisik atau bangunan untuk Sekolah Pagesangan? Bagaimana lantas mbak Eno mampu mendanai biaya operasional yang dibutuhkan untuk terus menjalankan berbagai kegiatan di desa tersebut?
Setelah berbincang-bincang lebih jauh tentang Sekolah Pagesangan (SP), dan bagaimana mereka mampu bertahan adalah karena masyarakat menjadi modal dari berjalannya komunitas ini. Kebutuhan mereka terhadap pendidikan lah yang membuat masyarakat mendukung aktivitas Sekolah Pagesangan. Dukungan berupa sumber daya atau modal sosial (social capital) berasal dari masyarakat sendiri, dan komunitas akan menentukan jenis dan bentuk pendidikan yang sesuai berdasarkan akar budaya, sejarah dan sosial mereka. Sehingga diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan konteks persoalan dan juga tidak berjarak dengan apa yang mereka lakukan sehari-hari. Masyarakat pun ikut berpartisipasi dalam merumuskan apa yang akan dipelajari, dimana, dan sumber pendukung apa yang bisa dihadirkan untuk proses belajar. Baik kelompok dewasa maupun anak-anak diberikan ruang diskusi mencoba menggali potensi dan budaya yang dimiliki desa sehingga ketika memilih bertani, anak-anak dan orang dewasa menyadari bahwa kegiatan bertanilah yang kontekstual untuk menghadapi kebutuhan dan persoalan hidup mereka.
Anak-anak yang berpartisipasi dalam pendidikan berbasis komunitas ini juga mengenyam pendidikan di sekolah formal seperti anak-anak pada umumnya. Beberapa di antara mereka bahkan terpaksa meninggalkan kegiatan SP karena harus menempuh pendidikan lebih tinggi dan harus pergi ke kota agar bisa melanjutkan sekolah di institusi pendidikan formal setaraf SMA atau SMK. “Rasanya sedih ya ketika anak-anak tersebut satu per satu pergi, mereka sudah saya dampingi selama bertahun-tahun dan karena berbagai alasan akhirnya memilih untuk pergi ke kota juga”, kira-kira begitu curhatan mbak Eno ketika ditanyai tentang dinamika antara anak-anak SP dan mereka. “Karena mereka masih remaja, jadi bisa saja mereka lalu memutuskan pindah ke kota karena misalnya putus dengan pacarnya, atau ingin tinggal di kota karena mau mencoba hal-hal baru” lanjutnya lagi. Mbak Eno yang mengajak anak-anak perempuan di dusun Wintaos untuk kembali menanam dan mengolah lahan mereka, hingga ke cara-cara mempertahankan keanekaragaman hayati yang mereka miliki dengan mengajarkan mereka berbagai jenis olahan pangan lokal yang bahan dasarnya berasal dari sekitar rumah mereka, pastinya kecewa ketika perubahan terjadi diantara anak-anak ini.
Akses terhadap informasi serta modernisasi lewat televisi, handphone dan jaringan internet bukanlah sesuatu yang asing bahkan untuk anak-anak Sekolah Pagesangan. Memang dalam satu sisi, informasi ini dibutuhkan bagi anak untuk bercita-cita tinggi dan memiliki mimpi untuk dapat hidup lebih sejahtera. Sudah umum bahwa para orang tua berharap anak-anak mereka dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan bisa bekerja di kota, dengan harapan anak mereka bisa menghasilkan lebih dari yang mereka peroleh di desa dan bisa mengubah nasib keturunan mereka yang dulunya petani. Kesejahteraan seringkali hanya dihubungkan dengan materi, sehingga yang terjadi adalah budaya konsumtif sarat materialisme yang hanya semakin menghilangkan kebudayaan bertani dan mengolah alam. Lahan beralih fungsi dari sawah atau ladang pertanian menjadi perumahan, jalan raya, hingga ke bandara. Dalam kurun waktu 10 tahun saja, Indonesia sendiri telah kehilangan 5 juta petaninya (BPS, 2013). Kekhawatiran akan krisis petani muda dan tidak adanya regenerasi petani ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia  sebagai akibat dari industrialisasi dan kapitalisme yang dilatar belakangi pula oleh budaya patriarki. Krisis ekologi yang terjadi saat ini disebabkan pembangunan yang berpusat pada sistem patriarki  lewat praktik-praktik eksploitasi yang dilakukan oleh Multi National Corporations (MNCs) dan juga pemerintah. Penduduk di seluruh dunia hanya memiliki 0,17 hektar lahan dan sisanya dimiliki oleh negara dan agen-agen pembangunan. 85% petani di Indonesia tidak memiliki lahannya sendiri dan hanya bekerja sebagai buruh tani di lahan milik negara atau perusahaan (KPA,2013).
Sekolah Pagesangan dari Pandangan Antropologi Pendidikan
 Konsep pendidikan berbasis komunitas seperti Sekolah Pagesangan boleh jadi memberikan alternatif kepada masyarakat mayoritas petani sebab mereka membutuhkan penerus melalui regenerasi pendidikan serta pengetahuan tentang budaya bertani yang telah diwariskan turun temurun dan menjadi sumber kehidupan bukan hanya bagi kelompok petani melainkan bagi seluruh umat manusia. Pentingnya peran petani ini memang tidak banyak diakui bahkan disadari oleh masyarakat moden yang umumnya membeli makanan jadi atau instan di supermarket atau convenience store. Oleh karena itu lewat pendidikan, antropologi berusaha melihat bagaimana kontribusi ilmu ini terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang telah melahirkan kebudayaan pragmatis pada masyarakat modern. Bukan saja kepada anak-anak melainkan juga pada orang tua mereka yang ingin mencetak generasi-generasi high technology.
Untuk menjelaskan pendidikan dari kacamata antropologi, saya ingin meminjam sebuah definisi yang digunakan oleh Prof. PM Laksono, yang menjelaskan bahwa pendidikan antropologi memahami bahwa pendidikan sifatnya selalu dinamis sebab obyek dan subyek yang selalu bergeser sehingga pendidikan antropologi bersifat pengetahuan yang reflektif dan apresiatif, untuk menemukan eksistensi manusia itu sendiri. Usaha-usaha yang hendak dicapai lewat pendidikan antropologi melalui apresiasi dapat ditempuh dengan usaha pengembangan manusia yang mengarahkan kepada sasaran-sasaran yang lebih substansial dan berempati terhadap hidup manusia itu sendiri daripada ke arah hidup material yang praktis. (Laksono,2013)Mengutip pula apa yang dikemukakan oleh M. Sastraprateja mengenai pendidikan antropologi, bahwa pendidikan harus berlandaskan aspek historis manusia akan hakekat hidupnya. Bahwa eksistensi manusia erat hubungannya antara aspek historis di masa lampau untuk mampu menghadapi masa depan. Sehingga pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada arah kemajuan teknlogi dan ilmu pengetahuan saja tapi juga reflektif terhadap usaha pemahaman diri sendiri melalui konteks historisnya. Beliau juga ikut merumuskan bahwa dalam pendidikan antropologi, dibutuhkan tiga kesadaran atau prinsip yakni (1) Pengetahuan manusia bersifat historis,(2) Menekankan pendidikan terhadap “proses” bukan hanya “produk”, kemudian (3) menyadarkan kembali pentingnya pengetahuan historis pada pelajar untuk melihat sejarah sebagai akar masalah masa kini. (Bernas, 21 Februari 1997:2).
Pendidikan berbasis wawasan antropologi ini menurut saya sangat relevan dalam melihat bagaimana Sekolah Pagesangan sebagai sebuah pendidikan alternatif hadir ditengah masyarakat yang memiliki sejarah sebagai kaum petani yang memiliki pengetahuan dan adaptasi tinggi terhadap lingkungan yang sulit untuk ditanami. Pengetahuan terhadap alam sifatnya sangat kontekstual dan hanya dapat dipelajari melalui proses panjang yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Untuk memahami kekayaan pengetahuan tersebut, tentunya dibutuhkan apresiasi, yang salah satunya dibawa oleh Mbak Eno kepada anak-anak Sekolah Pagesangan yang menyadarkan akan pentingnya anak-anak tersebut meneruskan kembali pengetahuan setempat mengenai cara mengolah tanah lewat bertani. Tentu dibutuhkan inovasi dan penyesuaian dengan teknologi yang sudah ada, agar membuat anak-anak kemudian ikut termotivasi dan mampu mengikuti ritme perubahan zaman. Usaha Mbak Eno mengajak para pendatang dari kota untuk menyaksikan hasil proses belajar mereka juga menjadi penting untuk saling menginspirasi, baik bagi masyarakat perkotaan maupun anak-anak desa. Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat terakhir dari Prof. Laksono, yaitu pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses kreatif saling percaya dan saling belajar antara murid dan guru. Pendidikan antropologi sangat ideal bagi saya untuk memecahkan berbagai masalah yang terjadi di sekitar kita dan tentunya untuk mengatasi masalah di masa mendatang.

Bibliography
Laksono,P.M., Konstektualisasi (Pendidikan) Antropologi Indonesia. Jurnal Komunitas 5 (1) (2012) : 101-111.

0 comments:

Post a Comment