Thursday, August 25, 2016

Bertani ala Girimulya (1)


Kondisi Alam dan Sistem Bercocok Tanam
Sebagaimana umumnya desa-desa daerah pegunungan di Jawa, sebagian besar penduduk Desa Girimulya, Panggang, Gunungkidul, memiliki mata pencarian sebagai petani. Petani menjadi pekerjaan utama. Semua orang bertani. Petani kultural. Meskipun kondisi tanah di Girimulya sebagian besar terdiri dari batuan Karst (batu karang) dengan lapisan tanah atas (top soil) yang tipis, tapi semua Keluarga tetap bertani. Kondisi ketersediaan air terbatas sehingga sistem pertanian yang dikembangkan adalah bertani di lahan kering. Masyarakat menanam tanaman pangan 1 kali/tahun, hanya saat musim hujan tiba. sistem pengairan tidak tersedia, kebutuhan air untuk bertani 100% didapat dari air hujan, ladang atau kebun tadah hujan. Saat hujan tiba adalah saat datangnya masa menanam.
Sebelum tahun 1970-an, pertanian di Panggang lebih terfokus pada budidaya tanaman pangan. Tetapi paska 1970-an sudah mulai berubah, apalagi setelah dicabutnya larangan penanaman Jati masyarakat oleh bupati Darmakum Darmokusumo, Sistem pertanian di Girimulya dan desa-desa lain di Panggang tidak terlepas dari ketergantungan terhadap kehutanan. Pola pertanian kehutanan (sering disebut agroforestry) yang diterapkan, disesuaikan dengan kondisi tanah, kelerengan, akses serta prioritas kebutuhan petani terhadap lahan tersebut. Pada lahan-lahan yang relatif datar terutama dengan lapisan topsoil yang cukup tebal, lahan lebih dioptimalkan untuk menanam tanaman pangan yang biasa dikonsumsi (singkong, padi, jagung, kacang, koro, aneka sayur mayur), dengan system polikultur atau masyarakat sering menyebutnya dengan campursari ataupun tumpangsari. Pada lahan dengan kondisi kelerengan yang curam dengan lapisan top soil yang tipis diperuntukkan bagi tanaman kayu. Untuk tanaman kayu diberlakukan system monokultur. Di kebun kayu masyarakat menanam pohon Jati, didorong karena banyaknya permintaan pasar akan kayu jati. Penanaman tanaman kayu, banyak dibudidayakan terutama sejak tahun 1970-an. Tanaman kayu merupakan investasi tahunan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan seperti pendidikan, hajatan keluarga, sandang dan papan.

Pola Bercocok tanam
Kemampuan bertani diwariskan secara turun temurun, bahkan jauh sebelum Indonesia lahir. Seperti yang dituturkan Biyung Marso. Biyung Marso, perempuan yang lahir di Dusun Wintaos, Girimulya. walau ia tidak tahu dan tak ingat kapan dilahirkan. Ia hanya ingat bahwa saat perang, dimana seringnya pesawat tempur berlalu-lalang di langit Wintaos, beliau sudah gadis. Biyung marso melukiskan, saat pesawat tempur melintas, orang-orang lari tunggang langgang ketakutan. Biyung bersama beberapa orang bersembunyi di lubang bawah tanah yang ditutup dengan kayu. Saya menduga, perang dan serangan itu terjadi saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Jika saat itu Biyung Marso sudah gadis, maka kemungkinan biyung lahir tahun 1933-an.
"Jaman mbiyen yen wis rodo gede wae kon negal. Jaman cilikanku mbiyen aku nandur jagung, telo, pari, Lombok, kacang brol, kacang (kacang panjang) pokoke jenise luwih akeh tinimbang saiki. Mbiyen sekitar omah yo ditanduri, ora mung ning tegal. Pekarangan ngomahku isih ombo". (biyung marso, usia sekitar 80 tahun)
("Jaman dulu, kalau sudah agak besar disuruh bekerja di ladang. Jaman kecilku dulu, aku menanam jagung, singkong, padi, cabe, kacangtanah, kacang panjang. Pokoknya jenisnya lebih banyak dibanding sekarang. Dahulu sekitar rumah juga ditanami, tidak hanya di ladang. Pekarangan rumahku juga masih luas.")
Menurut penuturannya, Biyung Marso belajar bertani dari orangtuanya. Di usia jelang remaja, Biyung marso saat itu sudah terbiasa bekerja di kebun membantu orangtuanya. Menurut biyung, jaman dia muda berbeda dengan sekarang. Saat biyung kecil dulu, rata-rata anak-anak usia 10 tahun, baik perempuan maupun laki-laki, sudah bisa dan biasa berladang. Kegiatan anak-anak dusun jaman itu, tidak jauh berkaitan dengan mencari kayu, cari makanan untuk ternak, membantu tandur, ngrabok, ngored dan panen.
" Aku biyen umur-an sekitar 10 tahun wis negal. Negale adoh, bapakku mbiyen nduwe tegal ning : njurug, ngelo, nggorek. Aku mlaku menyang tegal. Aku nandur telo, kacang brol, jagung, pari. Yen panen, jagunge sebagean didol, sebagean dipangan. Yen pari karo telo dipangan dewe. Jaman aku cilik mbiyen durung ono urea, pupuk mung ngganggo teleke sapi lan wedhus.pupuk kandang."(Pak Giyanto,55 tahun)
("Saya dulu umur sekitar 10 tahun sudah bisa negal/ bertani. Lokasi tegal/ladang jauh. Bapak saya punya ladang di NJurug, NGelo, Ngorek. Saya berjalan menuju ladang. Saya menanm singkong, kacang tanah, jagung, padi, kalau panen sebagian jagung dijual, Sebagian dimakan. Kalau padi dan singkong dimakan sendiri. Saat aku kecil dulu belum ada urea. Pupuk hanya memakai kotoran sapi an kambing. Pupuk kandang". pak Giyanto, 55 tahun)
Kisah Biyung Marso yang mulai bertani saat usia belia, dikuatkan oleh cerita Bapak Giyanto. Menurut Pak Giyanto yang saat ini berusia 55 tahun, beliau belajar bertani saat usianya 9 tahun, belajar bertani dari simbahnya. Saat usianya 10 tahun, Pak Giyanto sudah terbiasa bekerja di ladang (negal). Pak Giyanto kecil’ berjalan menuju tegal yang jaraknya sekitar 3,5 s.d 4 km dari rumah. Saat itu di dusun belum ada yang punya kendaraan bermotor maupun sepeda angin. Ketrampilan Bertani diajarkan secara turun temurun. Saat itu, Para orangtua merasa penting mengajarkan anak-anak mereka ketrampilan bertani, karena tanpa menguasai ketrampilan ini, mereka tidak mungkin bisa survive hidup. Karena tidak dapat memproduksi barang pangan.
Setelah orangtua Biyung Marso meninggal, sebagian lahan yang dimiliki orangtua Biyung Marso diwariskan kepada biyung dan dikelola. Saat ini, diusianya yang  sudah 80-an, biyung masih aktif bertani, meski sudah tidak kuat mencangkul, tapi biyung masih kuat tandur, ngored, mencari pakan, menjemur panen, bahkan memanggul pakan (rumput), dan berjalan naik turun bukit.
Biyung marso mengajarkan ketrampilan bertani ke anak-anaknya. Biyung mempunyai 4 orang anak. Semua anak biyung kini bertani. Anak bungsu biyung adalah bu Mainem. Bu Maeinem kini berusia 47 tahun. Bu Mainem bercerita, sejak usianya 12 tahun sudah bertani. Setelah lulus SD bu Mainem sudah aktif bekerja di ladang. Bu Mainem tidak melanjutkan ke SMP, sehingga bisa bekerja di ladang secara penuh. Saat musim kemarau,tak banyak aktifitas di ladang, bu Mainem bekerja di kota, menjadi buruh di rumah makan.
Bertani untuk bertahan hidup ---Subsisten
Masyarakat Girimulya dan desa-desa lain di Panggang, bertani tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Meskipun hanya bisa menanam tanaman pangan 1 kali/tahun, yaitu di musim hujan saja, tapi mereka mencukupkan kebutuhan pangan setahun, sampai musim tanam berikutnya. Strategi yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan cara:
  1. Menanam secara polikultur (campursari/tumpangsari), beberapa jenis tanaman pokok, sayuran dan kacang-kacangan dalam satu lahan. 
  2. Melakukan pergiliran dan diversifikasi pangan.
Bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga masyarakat cenderung menanam apa saja yang dibutuhkan untuk makan, yang tentu saja beragam di kebun-kebun yang bisa diaksesnya. Saat ini (2016), tanaman yang biasa ditanam di ladang adalah; padi merah segreng, singkong, jagung, talas (kimpul), garut, ganyong, labu, bligo, koro-koro-an, kacang tanah, kacang panjang. 
Tentang keragaman pangan yang ditanam di kebun, Biyung Marso juga bercerita, saat beliau masih kecil dulu, (kira-kira tahun 1945), keragaman jenis tanaman di ladang lebih tinggi. Ada banyak jenis tanaman yang tidak banyak di tanam saat ini. Misalnya, dulu biyung juga menanam jewawut, chantel, jali, jagung putih dan beragam jenis koro-koro-an.
Pak Giyanto dan bu Mainem juga bercerita, dahulu padi yang ditanam bukan padi merah segreng (yang ditanam saat ini), melainkan padi Puthu. Padi puthu , yaitu padi gogo yang khusus untuk lahan kering. Batang pohon padi puthu lebih besar dari padi segreng. Sekarang padi puthu sudah tidak pernah ditanam lagi. Kini, masyarakat petani di Panggang lebih banyak menanam segreng. Menurut bu mainem, Padi varietas Segreng mulai ditanam (menggantikan padi puthu) sekitar akhir tahun 1970). Begitu pula dengan jagung. Jagung hibrida mulai mulai masuk Panggang sekitar 1988. Jagung hibrida mulai menggeser keberadaan jagung putih dan ungu yang biasa masyarakat budidayakan sebelumnya.
Meskipun kini banyak benih dan jenis tanaman tidak lagi ditanam, dan keragaman tanaman yang ditanam lebih sedikit dibanding 50an tahun lalu, tapi pada prinsipnya masyarakat Girimulya dan umumnya di desa-desa lain di Panggang tetap menanam secara polikultur/campursari, dan memegang prinsip bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga (subsisten).
Keragaman tanaman di ladang ini berkaitan erat dengan diversifikasi pangan sebagai strategi mencukupkan pangan keluarga selama setahun. Karena bertani hanya bisa dilakukan di musim hujan, maka saat musim hujan, semua kebutuhan pangan ditanam. Jadwal panen dan konsumsi dilakukan secara bergilir. Akhir Febuari/Maret saat panen padi, mereka bisa makan padi sampai stok gabah/ beras habis. Beras bisa diselingi dengan stok jagung yang dipanen bulan maret-april. Di bulan July dan agustus sudah bisa panen singkong, sehingga mereka bisa makan tiwul, sampai persediaan habis.
Kebutuhan lauk dan sayur, umumnya didapat dari kebun sendiri, tidak beli. Aneka sayuran yang ditanam (nangka, kelor, melinjo, tayuman, kacangpanjang, koro, cabe, daun singkong, daun papaya, kembang turi, jantung pisangdll), sebagian bumbu dan rempah juga menanam sendiri. Untuk lauk yang tidak ada di kebun seperti ikan asin, gereh, kerupuk mereka membeli di pasar. Pasar ada pada setiap  hari pasaran wage, di pasar wage. 
"Jaman mbiyen, nandur kacang, terong, kemangi, kenikir, cipir ning ngomah. Mbiyen sekitar omah yo ditanduri, ora mung ning tegal. Pekarangan ngomahku isih ombo" Biyung Marso. (jaman dahulu, menanam kacang, terong, kemangi, kenikir, cipir di rumah. Dahulu sekitar rumah ya ditanami, tidak hanya di ladang. Pekarangan rumahku juga masih luas)
Hingga kini di Desa Girimulya masih banyak Rumah tangga yang mengoptimalkan pekarangan untuk kebun pangan. Sayur mayur, kacang dan koro-koroan tak hanya ditanam di ladang, tapi juga di pekarangan, disekitar rumah. Mereka tetep menanami, meskipun pekarangan tak seluas dahulu, karena pekarangan kini telah dibagi ke anak dan keturunan dan dibangun rumah-rumah.
Jika kebutuhan pangan telah terpenuhi, sebagian hasil panen dijual untuk mendapat uang cash guna memenuhi keperluan selain pangan. Hasil panen yang biasanya dijual: jagung, gaplek, kacangtanah, sayuran (daun melinjo, cipir, nangka, koro, melinjo dll). Umumnya beras tidak dijual, tapi jika panen agak banyak dan butuh uang cepat, mereka bisa jual panen sudah dalam wujud beras. Bertani untuk subsisten (memenuhi kebutuhan pangan keluarga) relative masih dipertahankan dari dulu hingga kini. Petani di Girimulya dan umumnya di Panggang, tak semata-mata bertani untuk komoditas/ barang untuk jual beli. Karena Petani komoditas biasanya menanam secara monokultur dan bukan polikultur.
Pergeseran Pola Konsumsi Pangan Pokok
Menurut Biyung Marso, Pak Giyanto dan Bu Mainem, di era tahun-tahun 50- 80-an, makanan utama mereka adalah tiwul. Singkong lebih banyak ditanam dibandingkan padi beras. Singkong lebih cocok dibudidayakan di tanah mereka yang kering dan minim air. Selain itu, Jika dimakan, singkong dianggap (relative) lebih mengenyangkan dan bertenaga bagi mereka dibanding makan nasi beras. Mereka butuh tenaga lebih ekstra dalam mengolah lahan yang tantangannya lebih berat, singkong dianggap lebih mengenyangkan dan bertenaga dibanding beras padi. Sehingga saat itu Singkong menjadi tanaman utama, paling banyak ditanam dibandingkan tanaman yang lain. Selain tiwul, nasi beras padi gogo, umum bagi masyarakat Panggang saat itu mengkonsumsi Loyang, yaitu nasi beras (sisa) yang dijemur sampai kering lalu dimasak (dikukus) lagi, orang kini menyembutnya nasi aking. Loyang masih dikonsumsi hingga kini, sebagai selingan pangan atau sebagai pengganti makanan pokok jika beras padi dan gaplek telah habis.
Saat ini, sudah mengalami pergeseran pola konsumsi, singkong yang diolah menjadi tiwul, sudah mulai digeser oleh keberadaan beras padi. Generasi sekarang lebih senang mengkonsumsi beras, apalagi setelah pemerintah mencanangkan pembagian beras RASKIN (beras untuk warga miskin). Masyarakat jadi punya pilihan dan lebih menyukai makan nasi beras, dibanding singkong. Tapi walau bagaimanapun, di Panggang, tiwul tetap menjadi bagian dan salah satu dari makanan pokok, selain nasi beras. Saat ini di ladang, rata-rata masyarakat menanam beras sama banyaknya dengan singkong.
Revolusi Hijau dan dampaknya

Di era, sebelum 80-an, bertani masih menggunakan cara alami dan tradisional, menggunakan pupuk kandang, tanpa pupuk kimia dan pestisida. Pak Giyanto bercerita, tahun 60-an akhir dan awal 70-an, kondisi tanah juga lebih gembur dibanding sekarang. Pak Giyanto bercerita saat itu ayahnya, hanya menggunakan pupuk kandang, kotoran sapi dan kambing. Tapi setelah pemerintah memperkenalkan bibit unggul padi IR64 dan Segereng, dimana bibit unggul lebih rakus hara, memerlukan nutrisi lebih banyak, maka urea diperkenalkan. Urea mulai digunakan di Girimulya sekitar awal 80an. Saat Padi jenis segreng mulai ada, para petani mulai menggunakan urea juga, termasuk keluarga pak Giyanto. Pak Giyanto menambahkan, sebenarnya setelah memakai urea, tanah menjadi lebih keras. Kondisi tanah berbeda dibandingkan saat sebelum pakai urea, dimana tanah lebih gembur. Meski begitu, masyarakat petani tetep menggunakan urea dalam menanam padi. kalau gak pakai urea takut hasilnya kurang bagus. Hal ini dibenarkan juga oleh Biyung Marso dan bu Mainem. "Saat jaman biyung muda dulu, hanya menggunakan pupuk kandang saja, belum ada urea" terangnya.
Proses perubahan cara budidaya bertani, mulai mengenal pupuk kimia/sintetis dan mungkin pestisida, menggunakan bibit hibrida dimulai saat revolusi hijau diterapkan. Revolusi hijau yang dikenal dengan system intensifikasi pertanian di Indonesia mulai diterapkan di tahun 1974-an. intensivikasi tanaman diantaranya : 1. Menggunakan bibit unggul. 2. Penanaman. 3. Pemupukan 4. System pengairan 5. Pemberantasan hama dan penyakit. 6. pemanenan
Dampaknya dirasakan di Desa Girimulya, benih local menghilang karena tidak ditanam regular dan diganti dengan bibit unggul, seperti hilangnya jenis padi local puthu, beberapa varietas jagung (jagung putih dan jagung ungu), juga beberapa jenis umbi-umbian dan koro-koran yang semakin sulit dijumpai. Penggunaan bibit unggul sebagian benih harus selalu membeli di toko pertanian, seperti saat mau menanam jagung (jagung hibrida) maka petani harus ke toko untuk membeli benih. Jika benih harus beli berarti harus keluar modal yang lebih besar untuk biaya produksi dalam bertani. Petani juga lebih bergantung pada perusahaan produsen benih, disaat setiap masa tanam benih harus dibeli. Hal ini berbeda dengan saat sebelum program intensivikasi digalakkan, saat dimana hasil panen tidak sepenuhnya dimakan, menyisihkan untuk benih untuk ditanam di masa tanam berikutnya.
Penggunaan pupuk kimia, urea, sangat berpengaruh pada ekologi tanah. Secara fisik tanah menjadi kering dan keras. Jika urea digunakan secara terus menerus dalam jangka waktu lama menyebabkan matinya jasad renik, miroba dan hewan-hewan kecil yang biasa hidup di tanah. jika kehidupan di tanah telah musnah dan mati maka tanah juga mengalami sekarat dan mati. Tanah yang sakit, atau mati kembali menyulitkan manusia dalam pengolahan lahan. selain secara fisik tanah menjadi keras, mulai munculah hama dan penyakit tanaman. Tanah yang mati juga pasti tidak subur, artinya ketergantungan dan kecanduan pada urea jadi semakin tinggi. Perubahan fisik tanah akibat urea sebenarnya telah disadari oleh para petani pengguna urea. Tapi untuk melepaskan ketergantungan pada urea tidaklah gampang. Ketakutan tidak mendapatkan hasil yang optimal, membuat para petani menjadi tergantung pada kebutuhan urea. Belanja urea menjadi biaya produksi yang harus dihitung.
Sebelum ada system intesivikasi pertanian, semua petani di Panggang tidak membutuhkan belanja pupuk, semua bisa didapat dari kandang sendiri, karena rata-rata semua petani memiliki hewan piaraan. Kalaupun kekurangan pupuk kandang, bisa diatasi dengan membeli (barter) telek dari tetangga atau saudara terdekat.

(bersambung ke Budaya bertani 2 : Ancaman Regenerasi Petani)

0 comments:

Post a Comment