lemahe mboten atos kados sakniki: Mengingat apa yang telah lalu
Pertemuan Kelompok Bapak-Bapak |
Hari
ini (10 September 2016), malam ini sengaja kami mengadakan pertemuan dan diskusi kelompok bapak-bapak.
Kelompok bapak-bapak adalah salah satu kelompok belajar di Sekolah Pagesangan.
Kelompok bapak-bapak ini memang yang paling terakhir diorganisir, setelah
kelompok Anak dan remaja, dan kelompok Ibu-ibu. Sehingga ada 3 kelompok besar
di komunitas Sekolah Pagesangan yang mulai berjalan proses belajarnya: kelompok
Anak dan Remaja, Kelompok Ibu-ibu dan Kelompok Bapak-bapak. Jika kelompok
Ibu-ibu diorganisir melalui pengolahan pasca panen, kelompok bapak-bapak diorganisir
melalui belajar bersama tentang budi daya. Tentunya budidaya pertanian secara
organik dan alami.
Pertemuan
malam ini sudah disepakati sejak beberapa hari sebelumnya. Pertemuan dihadiri
oleh 19 orang bapak-bapak. Meskipun pertemuan bapak-bapak, ada beberapa ibu-ibu
yang turut hadir, para kader SP; Murni, Hesti, Livia pun turut mengikuti
pertemuan. Pertemuan, dimulai sejak jam 20.00 WIB. Diskusi berlangsung hangat
dan hampir semua orang yang datang mau berbicara, tak terasa diskusi kami
akhiri jelang tengah malam, sekitar pukul 23 malam.
Pertemuan
kali ini sengaja diagendakan untuk mengingat kembali atas proses dan situasi
bertani di masa lampau. Saya, dan Mas Kuncoro mengajak bapak-bapak kembali dan
mengingat 30 tahun yang lalu.
Kami mengawali dengan bertanya pada bapak-bapak,
kira-kira tahun 60-an (era sebelum 1970) benih apa saja yang biasa ditanam saat
itu?
Sesaat
semua orang diam, mencoba mengingat-ingat, tapi lambat laun satu persatu
bicara, saut menyaut dan saling menimpali, “Riyin
niku, yen pari nandur pari lokal: menuran, cempo…” (dulu itu, kalau padi
nanam padi lokal: menuran, cempo.”). Yang lain menambah “pari puthu”, ada yang menimpali “Genjah, Pakisan” “Pokoke macem-maceme pari taksih kathah”
(pokoknya macam-macamnya padi masih banyak-jw). “Pari niku taksih wonten ditandur sekitaran tahun 70an, sak derenge tahun 1985 bu. Kulo inget niku
sakderenge lahire anak kulo, Anjar..” kata Pak Pur (padi itu masih ada
ditanam sekitar tahun 70an, sebelum tahun 1985 bu. Saya masih ingat itu sebelum
lahirnya anak saya, anjar..” kata Pak Pur) “Selain
pari ageng (lokal), tahun-tahun niku ugi nandur jagung, canthel (sorghum),
jali, jewawut , uwi, umbi-umbian..pokoke macem-macem ditandur”, kata Pak Giyanto
(Selain pari ageng (padi lokal), tahun-tahun itu juga menanam jagung, canthel,
jali, jewawut, umbi-umbian, …pokoke macem-macem ditanam, kata Pak Giyanto). Ada
pula yang menyahut, “Jagunge niku jagung
putih. Riyin ugi nedhi jagung putih” . (jagungnya itu jagung putih, dulu
juga makan jagung putih)
Saya bertanya, apakah benih-benih lokal
padi itu masih ada?
Mereka
menjawab benih-benih padi lokal sudah tidak mereka miliki lagi, dan jika mau
mencari sudah tidak tahu kemana. Karena benih-benih itu sudah lama tidak
ditanam. Mereka juga bercerita, kurang lebih tahun 1985-an, varietas Segreng
masuk ke desa, beberapa orang mulai menanamnya karena umurnya lebih pendek,
sekitar 4 bulan. Saat itu padi lokal yang panennya lama (7 bulan) banyak yang
terkena serangan hama, sehingga banyak petani beralih ke varietas segreng.
Mas Kuncoro dan saya selanjutnya
bertanya tentang, kira-kira kapan urea, pupuk kimia dan pestisida masuk ke desa
?
Kembali
semua orang mengingat-ingat. Tak lama, ada yang nyeletuk, “Kadose niku urea dereng dangu, sekitaran 1985an niku…”
(sepertinya, itu belum lama, sekitar tahun 1985-an itu), kata Pak Pardi. Pak Nyoto,
“ jane urea niku pun dangu mlebet ndeso,
tapi riyin ngendikane simbah kulo, mboten angsal ndamel niku (urea), marakke
lemahe atos, ngoten ngendikane simbah”, (sebenarnya urea itu sudah lama
masuk desa, tapi dulu, kata simbah saya, tidak boleh Pakai itu (urea), menyebabkan
tanah menjadi keras). Pak Pardi, “Ngendikane
simbah, yen ndamel urea niku marakke telo dadi pait, dados sami mboten wantun
ndamel urea” (kata simbah, kalau Pakai urea menyebabkan telo menjadi pahit,
jadi banyak yang gak berani Pakai urea”. Pak Sasmita, “ nggih , niku jane pun
masuk tahun 70an tapi, tiyang-tiyang mriki milai ngangge tahun 80-an..(iya, itu
sebenarnya sudah masuk tahun 1970an. tapi orang-orang sini mulai menggunakan
tahun 1980-an). Pak gun: “Yen tiyang
mriki to riyin niku pupuke nggih mung pupuk kandang…, wantun ndamel pupuk urea
niku nggih nembe mawon, kirang langkung sareng pari segreng”. (kalau orang
sini, dulu itu pupuknya ya hanya pupuk kandang, berani Pakai pupuk urea itu
baru saja, kuranglebih bersamaan dengan padi segreng). Pak Dukuh dan Pak Pur
menambahkan: “Yen pestisida jarang bu
mriki ndamel” (kalau pestisida jarang diPakai di sini). Pak Sasmita, “Tapi kulo ndamel roundup lho…, nggih kirang
langkung sejak tahun 2006 setelah gempa niku” (tapi saya Pakai roundup
lho…ya kira-kira sejak tahun 2006 setelah gempa itu).
Wonten bedane mboten Pak kondisi tanah
rumiyin sakderenge tahun 70-an dibanding sakmeniko?(Apa
ada bedanya Pak, kondisi tanah dulu sebelum tahun 70an dibanding sekarang?)
Pak
Pardi spontan menjawab “Jane kethok
banget bedane riyin dibanding sakniki …riyin niku tanahe mboten atos kados
sakniki..” (Sebenarnya kelihatan banget bedanya dulu dibanding sekarang,
dulu itu tanahnya tidak keras seperti sekarang). “Nggih leres, sakniki tanah niku atos, nopo niku wonten hubungane kalih
urea niku nggih?” (ya benar, sekarang tanah menjadi keras, apa itu ada
hubungannya dengan urea itu ya?) Tanya Pak Sasmita.
Mas
Kuncoro dan saya menanggapi , tanah itu adalah benda ‘hidup’. Hidup maksudnya,
ada beragam jenis dan jumlahnya jutaan mahluk hidup dalam tanah, mulai mikroba
seperti bakteri, jamur, hewan-hewan kecil seperti serangga maupun cacing, baik
yang tamPak mata maupun yang tidak kasatmata. Mikroba dan hewan-hewan kecil ini
berperan untuk memberi kehidupan di tanah. Memungkinkan untuk terjadinya
penguraian makhluk hidup lain, dan sisa kehidupan lain. Penguraian inilah yang
membuat terjadinya daur hara juga membawa kesuburan tanah. Semakin kaya dan
banyaknya mikroba dan organisme di dalam tanah, semakin sehat dan subur tanah
itu. Sayangnya, penggunaan zat kimia, seperti pupuk dan pestisida kimia bisa
membunuh semua mikroba dan makhluk/hewan kecil yang ada di tanah. Akibatnya di
tanah tidak ada penguraian dan kehidupan. Tanah menjadi sekarat dan mati. Di
dalam tanah yang mati tidak terjadi penguraian makhluk hidup dan tak ada daur
hara. Tanah menjadi keras dan atos
adalah salah satu ciri tanah yang sekarat dan mati. Jika dalam tanah itu tidak ada
kehidupan, kita tidak mungkin berharap tanah bisa subur dan memberi
kesejahteraan bagi kita.
Pada
pertemuan ini, hadir juga Nathan Spoot
Nik, seorang
traveler kewarganegaraan Prancis. Ia tinggal 3 minggu di Jogja dan Panggang
untuk belajar bertani alami yang mandiri. Saat tinggal di Wintaos, Panggang,
Nathan bersama kami di SP, terlibat dalam semua kegiatan kebun seperti
mencangkul, menanam, memupuk, membersihkan rumput juga membuat kompos. Kali ini
saya meminta Nathan untuk bercerita kepada kami semua tentang kondisi pertanian
di Perancis dan Eropa secara umum, juga alasan dia mau belajar tentang
pertanian alam dan tradisional.
Cerita
Nathan dimulai dari Perang Dunia 1 dan 2 (1940-1945), saat itu ternyata serdadu/prajurit Prancis yang dikirim
berperang 90% adalah Petani. Perang banyak membunuh serdadu-serdadu itu.
Setelah perang Prancis banyak kehilangan petani saat itu. Petani yang biasanya
bekerja menjadi penyedia pangan sebagian besar mati di medan perang. Setelah
perang usai, baru dirasakan menipisnya jumlah petani. Di lain pihak, usai
perang, industri besar yang biasanya memasok senjata, gas kimia pembunuh massal,
amunisi, tank, menjadi terancam kelangsungan ‘produksinya. Artinya pemilik
modal dan industri tidak mendapat uang jika perang telah usai. Mereka berpikir,
apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang dari kelangsungan industri?
Mereka mulai melirik pada masalah pangan. Karena banyak kehilangan petani saat
perang, maka pekerja pertanian jauh menyusut. Sementara lahan-lahan luas
pertanian butuh banyak pekerja dan petani. Rakyat juga butuh pangan. Lalu apa
yang bisa dilakukan industri (ex industri perang) untuk masalah ini ? Apakah
ada keuntungan bagi industri yang bisa diambil dari situasi ini?
Singkat
cerita, eks industri perang ingin terlibat dalam ‘mendukung’ pertanian.
Akhirnya diciptakanlah model pertanian yang syarat dengan alat, mekanisasi dan
kimiawi/sintetis (intensifikasi). Dengan pertimbangan, melakukan mekanisasi pertanian,
dan penggunaan pupuk/pestisida kimia akan sangat menghemat tenaga kerja/petani.
Umumnya luas lahan yang biasanya dikerjakan 20 orang tenaga/petani bisa dihemat
menjadi 2 orang petani. Akhirnya industri perang yang biasanya ‘melayani’
kebutuhan perang, beralih ‘melayani’ kebutuhan pertanian. Dibuatlah pestisida
untuk membunuh (tumbuhan dan hewan) yang tidak diinginkan (dianggap sebagai
pengganggu): aneka insektisida dan herbisida, pupuk juga dibuat pupuk kimia.
Dulu mereka memproduksi tank-tank untuk perang, kini beralih membuat traktor
dan mesin-mesin lain.
Termasuk
pada benih, industri juga memproduksi aneka benih yang telah dimodifikasi
sesuai keinginan dan kebutuhan kita. Pasar dari industri pertanian ini tidak
hanya di Eropa dan Amerika, tapi meluas ke Asia dan Afrika, bahkan justru
dipasarkan ke negara-negara miskin. Kapital / industri mendekati pemerintah,
meminta para pemimpin negara untuk membeli produk yang ‘menjanjikan ini’.
Selanjutnya untuk memudahkan akses pada petani, Industri bekerja sama dengan
bank. Bank memberikan pinjaman kepada para petani untuk belanja modal usaha
mereka.
Setiap
mau bertani, para petani belanja, benih, pupuk, pestisida juga mesin. Petani
diberikan kredit, dan harus mengangsur ke Bank setiap bulan. Sementara di pihak
lain pemilik industri dan kapital besar menjadi semakin kaya dan mendapat
banyak uang dari proses ini. Setelah beberapa lama berjalan, ternyata petani
bukannya bertambah kaya, mereka tambah miskin karena belanja modal bertani dari
hutang, mereka harus mengembalikan uang dan bunganya yang tidak sedikit. Karena
jeratan hutang, banyak petani yang harus kehilangan tanah dan lahannya disita
bank. Kita bisa bayangkan apa jadinya petani tanpa lahan/tanah. Kondisi ini
membuat banyak petani yang mengalami stres, bahkan bunuh diri, di India ada
200.000 petani melakukan bunuh diri dalam 10 tahun. Di banyak Negara, banyak
petani yang tanahnya tergadai, pergi meninggalkan desa, menuju kota. Di kota
tak mudah mereka mendapat pekerjaan, akhirnya mereka menjadi bagian masalah
urban. Intensifikasi pertanian juga menimbulkan sangat membuat kita bergantung
pada Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dampak
dari model bertani yang intensif ini kembali kepada manusia. Tanaman yang
diproduksi dan dipelihara secara kimia, selain membunuh tanah, juga meracuni
manusia yang memakannya. Timbul beragam penyakit akibat konsumsi makanan
berpestisida dan pupuk kimia, banyak yang sakit kanker, tumor, kerusakan
ginjal, jantung dll. Tanah yang dulunya secara fisik empuk dan gembur kini
menjadi keras dan rusak/mati.
Nathan
menambahkan, Kini kami (di Eropa) justru banyak merasakan kerugian dari dampak bertani
yang katanya ‘modern’ ini. Kami berpikir dan mulai ingin kembali ke model
pertanian jaman dulu yang lebih alami dan tidak merusak. Meskipun belum banyak
tapi mulai ada beberapa orang yang merintis pertanian model alami ini. Di Prancis,
khususnya di Paris dan di kota-kota besar lain, (hampir semua) sebagian besar
bahan pangan dipasok (diimpor) dari Spanyol dan Maroko. Karena lebih murah
dibanding produksi sendiri. Karena impor, kami sangat bergantung pada transportasi.
Transportasi bergantung pada BBM. Jika suatu saat BBM telat dan langka tentu
akan jadi masalah besar bagi orang-orang kota itu. orang-orang bisa kelaparan.
Kami menjadi sangat bergantung pada industri minyak. Kini saya (Nathan)
jauh-jauh ingin belajar untuk kembali bertani secara alami yang sehat dan adil
bagi saya, tanah, alam dan masyarakat dunia.
Testimoni
tersebut juga menggugah kami, ternyata intensifikasi pertanian yang diterapkan
selama ini adalah bentuk kesalahan yang diamini banyak orang. Ada banyak
ketidakadilan di dalamnya. Ketidakadilan bagi petani sendiri, karena telah
dihisap oleh kapital besar, ketidakadilan bagi tanah dan alam, karena telah
mengalami penyiksaan secara terus-menerus, hingga kini sekarat dan mati.
Ketidakadilan itu juga kembali kepada manusia selaku konsumen yang mengonsumsi
hasil pangan yang tidak sehat ini. Banyak penyakit dan penderitaan yang
dihasilkan.
Cerita
Nathan, menjadi refleksi bersama di pertemuan ini. Karena kerusakan akibat
model pertanian intensiv ini juga dirasakan langsung oleh kita semua di sini.
Di desa, kita banyak menemukan orang yang sakit kanker, ginjal dll. Tanah-tanah
kita juga bertambah keras, tidak sama seperti dulu waktu bapak-bapak dan
ibu-ibu masih kecil/muda. Saat itu tanah lebih gembur. Kita juga harus selalu
belanja pupuk urea, bibit dll. Padahal jika kita mau kita bisa buat sendiri.
Nah, apakah kesalahan ini mau kita
teruskan?
Pak
Pardi menyahut: “saya merasakan sekali
perubahan di lahan saya, tanah-tanah jadi atos dan keras, sebenarnya saya ingin
berubah, saya ingin kembali ke system yang alami yang dipakai bapak saya, tapi
kekawatiran saya jika saya kembali ke system dan cara yang alami, apakah
produksi dan hasilnya bisa tetap bagus? Kami sekeluarga harus tetap makan dan
anak-anak butuh sekolah. Itu yang jadi kekawatiran kami”. Semua orang
Saling sahut menyahut dan ingin bicara. Pak Giyanto: “Ya..karena itu alasannya,
saya juga ingin berubah, tidak Pakai urea, tapi agak berat karena kami takut
peralihan ini tidak bagus hasilnya, bagaimana pangan keluarga kami nanti?” Pak
Dukuh: “Kalau saya sudah mulai mengurangi sedikit demi sedikit, jadi misal,
saya punya lahan 4 petak, saya mulai tidak menggunakan urea sama sekali di satu
lahan saya, kemudian tahun depan di lahan berikutnya”. Pak Nyoto : “Saya juga
sependapat dengan Pak Pardi, tapi saya mau berubah, saya mau berubah tapi
bertahap, sedikit demi sedikit mengurangi urea dan pestisida”.
Mas
Kuncoro: “Ya biasanya memang masa peralihan produksi bisa berkurang, tapi tetap
ada hasil. Kita sudah membuktikannya dengan lahan yang dikelola oleh kelompok
anak-anak. Mereka menanam padi, sorgum, dan umbi-umbian. Tidak ada sama sekali
menggunakan pupuk kimia, apalagi pestisida, tapi hasil panen kemarin tetap
bagus. Bapak-bapak sudah lihatkan lahan kebun yang di Kepuket? Jadi tetap ada
hasil jika kita mau belajar, tertib dan menjadwal perlakuan dan dukungan yang
harus kita berikan pada tanah. Bahkan hasil bisa lebih bagus dari pola intensif
jika kita mau tertib memberikan dukungan dan menyehatkan tanahnya dulu.”
Pak
Dukuh: “Iya betul, saya tetap yakin cara alami itu lebih cocok dan menghasilkan
bagi kita, contohnya kita juga bisa lihat ke lahannya Mbah Suparjono dari
Legundi, yang bertani organik dan tidak pakai pupuk urea sama sekali, tapi
hasilnya juga bagus”.
Mas
Kuncoro: “Oke... jadi bagaimana, apakah kita mau belajar untuk berubah? Jika bapak-bapak
ingin belajar lebih jauh bertani secara alami saya mau menemani. Nanti kita
bisa belajar membuat pupuk sendiri yang tidak harus beli, kita juga bisa
mengatur pola tanam dan lain-lain. Jika bapak-bapak bersedia kita bisa belajar
bersama dan memulainya, mumpung kita masih punya waktu beberapa bulan sebelum
musim tanam Oktober / November tahun ini”.
Pak
Pardi dan lain-lain: “Monggo saya langusng usul, saya mau belajar terus, kapan
waktunya kita mulai belajar?” Akhirnya, setelah dirembug, disepakatilah waktu
belajar, mulai belajar membuat pupuk organic mandiri, hari sabtu, 10 september
2016.
Bagi
saya pribadi Perjalanan memang masih panjang dan berliku, tapi tiap tahapan
dari proses, saya pribadi belajar banyak, dan saya menikmatinya, pun merasa
bahagia menjalaninya.
PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
ReplyDeleteInformasi Peminjam:
Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Sex: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com