Friday, September 16, 2016

lemahe mboten atos kados sakniki: Mengingat apa yang telah lalu

Pertemuan Kelompok Bapak-Bapak



Hari ini (10 September 2016), malam ini sengaja kami mengadakan pertemuan dan diskusi kelompok bapak-bapak. Kelompok bapak-bapak adalah salah satu kelompok belajar di Sekolah Pagesangan. Kelompok bapak-bapak ini memang yang paling terakhir diorganisir, setelah kelompok Anak dan remaja, dan kelompok Ibu-ibu. Sehingga ada 3 kelompok besar di komunitas Sekolah Pagesangan yang mulai berjalan proses belajarnya: kelompok Anak dan Remaja, Kelompok Ibu-ibu dan Kelompok Bapak-bapak. Jika kelompok Ibu-ibu diorganisir melalui pengolahan pasca panen, kelompok bapak-bapak diorganisir melalui belajar bersama tentang budi daya. Tentunya budidaya pertanian secara organik dan alami. 
Pertemuan malam ini sudah disepakati sejak beberapa hari sebelumnya. Pertemuan dihadiri oleh 19 orang bapak-bapak. Meskipun pertemuan bapak-bapak, ada beberapa ibu-ibu yang turut hadir, para kader SP; Murni, Hesti, Livia pun turut mengikuti pertemuan. Pertemuan, dimulai sejak jam 20.00 WIB. Diskusi berlangsung hangat dan hampir semua orang yang datang mau berbicara, tak terasa diskusi kami akhiri jelang tengah malam, sekitar pukul 23 malam.
Pertemuan kali ini sengaja diagendakan untuk mengingat kembali atas proses dan situasi bertani di masa lampau. Saya, dan Mas Kuncoro mengajak bapak-bapak kembali dan mengingat 30 tahun yang lalu.
Kami mengawali dengan bertanya pada bapak-bapak, kira-kira tahun 60-an (era sebelum 1970) benih apa saja yang biasa ditanam saat itu?
Sesaat semua orang diam, mencoba mengingat-ingat, tapi lambat laun satu persatu bicara, saut menyaut dan saling menimpali, “Riyin niku, yen pari nandur pari lokal: menuran, cempo…” (dulu itu, kalau padi nanam padi lokal: menuran, cempo.”). Yang lain menambah “pari puthu”, ada yang menimpali “Genjah, Pakisan” “Pokoke macem-maceme pari taksih kathah” (pokoknya macam-macamnya padi masih banyak-jw). “Pari niku taksih wonten ditandur sekitaran tahun 70an, sak derenge tahun 1985 bu. Kulo inget niku sakderenge lahire anak kulo, Anjar..” kata Pak Pur (padi itu masih ada ditanam sekitar tahun 70an, sebelum tahun 1985 bu. Saya masih ingat itu sebelum lahirnya anak saya, anjar..” kata Pak Pur) “Selain pari ageng (lokal), tahun-tahun niku ugi nandur jagung, canthel (sorghum), jali, jewawut , uwi, umbi-umbian..pokoke macem-macem ditandur”, kata Pak Giyanto (Selain pari ageng (padi lokal), tahun-tahun itu juga menanam jagung, canthel, jali, jewawut, umbi-umbian, …pokoke macem-macem ditanam, kata Pak Giyanto). Ada pula yang menyahut, “Jagunge niku jagung putih. Riyin ugi nedhi jagung putih” . (jagungnya itu jagung putih, dulu juga makan jagung putih)
Saya bertanya, apakah benih-benih lokal padi itu masih ada?
Mereka menjawab benih-benih padi lokal sudah tidak mereka miliki lagi, dan jika mau mencari sudah tidak tahu kemana. Karena benih-benih itu sudah lama tidak ditanam. Mereka juga bercerita, kurang lebih tahun 1985-an, varietas Segreng masuk ke desa, beberapa orang mulai menanamnya karena umurnya lebih pendek, sekitar 4 bulan. Saat itu padi lokal yang panennya lama (7 bulan) banyak yang terkena serangan hama, sehingga banyak petani beralih ke varietas segreng.
Mas Kuncoro dan saya selanjutnya bertanya tentang, kira-kira kapan urea, pupuk kimia dan pestisida masuk ke desa ?
Kembali semua orang mengingat-ingat. Tak lama, ada yang nyeletuk, “Kadose niku urea dereng dangu, sekitaran 1985an niku…” (sepertinya, itu belum lama, sekitar tahun 1985-an itu), kata Pak Pardi. Pak Nyoto, “ jane urea niku pun dangu mlebet ndeso, tapi riyin ngendikane simbah kulo, mboten angsal ndamel niku (urea), marakke lemahe atos, ngoten ngendikane simbah”, (sebenarnya urea itu sudah lama masuk desa, tapi dulu, kata simbah saya, tidak boleh Pakai itu (urea), menyebabkan tanah menjadi keras). Pak Pardi, “Ngendikane simbah, yen ndamel urea niku marakke telo dadi pait, dados sami mboten wantun ndamel urea” (kata simbah, kalau Pakai urea menyebabkan telo menjadi pahit, jadi banyak yang gak berani Pakai urea”. Pak Sasmita, “ nggih , niku jane pun masuk tahun 70an tapi, tiyang-tiyang mriki milai ngangge tahun 80-an..(iya, itu sebenarnya sudah masuk tahun 1970an. tapi orang-orang sini mulai menggunakan tahun 1980-an). Pak gun: “Yen tiyang mriki to riyin niku pupuke nggih mung pupuk kandang…, wantun ndamel pupuk urea niku nggih nembe mawon, kirang langkung sareng pari segreng”. (kalau orang sini, dulu itu pupuknya ya hanya pupuk kandang, berani Pakai pupuk urea itu baru saja, kuranglebih bersamaan dengan padi segreng). Pak Dukuh dan Pak Pur menambahkan: “Yen pestisida jarang bu mriki ndamel” (kalau pestisida jarang diPakai di sini). Pak Sasmita, “Tapi kulo ndamel roundup lho…, nggih kirang langkung sejak tahun 2006 setelah gempa niku” (tapi saya Pakai roundup lho…ya kira-kira sejak tahun 2006 setelah gempa itu).
Wonten bedane mboten Pak kondisi tanah rumiyin sakderenge tahun 70-an dibanding sakmeniko?(Apa ada bedanya Pak, kondisi tanah dulu sebelum tahun 70an dibanding sekarang?)
Pak Pardi spontan menjawab “Jane kethok banget bedane riyin dibanding sakniki …riyin niku tanahe mboten atos kados sakniki..” (Sebenarnya kelihatan banget bedanya dulu dibanding sekarang, dulu itu tanahnya tidak keras seperti sekarang). “Nggih leres, sakniki tanah niku atos, nopo niku wonten hubungane kalih urea niku nggih?” (ya benar, sekarang tanah menjadi keras, apa itu ada hubungannya dengan urea itu ya?) Tanya Pak Sasmita.
Mas Kuncoro dan saya menanggapi , tanah itu adalah benda ‘hidup’. Hidup maksudnya, ada beragam jenis dan jumlahnya jutaan mahluk hidup dalam tanah, mulai mikroba seperti bakteri, jamur, hewan-hewan kecil seperti serangga maupun cacing, baik yang tamPak mata maupun yang tidak kasatmata. Mikroba dan hewan-hewan kecil ini berperan untuk memberi kehidupan di tanah. Memungkinkan untuk terjadinya penguraian makhluk hidup lain, dan sisa kehidupan lain. Penguraian inilah yang membuat terjadinya daur hara juga membawa kesuburan tanah. Semakin kaya dan banyaknya mikroba dan organisme di dalam tanah, semakin sehat dan subur tanah itu. Sayangnya, penggunaan zat kimia, seperti pupuk dan pestisida kimia bisa membunuh semua mikroba dan makhluk/hewan kecil yang ada di tanah. Akibatnya di tanah tidak ada penguraian dan kehidupan. Tanah menjadi sekarat dan mati. Di dalam tanah yang mati tidak terjadi penguraian makhluk hidup dan tak ada daur hara. Tanah menjadi keras dan atos adalah salah satu ciri tanah yang sekarat dan mati. Jika dalam tanah itu tidak ada kehidupan, kita tidak mungkin berharap tanah bisa subur dan memberi kesejahteraan bagi kita.
 
Nathan Belajar Bertanam
Pada pertemuan ini, hadir juga Nathan Spoot Nik, seorang traveler kewarganegaraan Prancis. Ia tinggal 3 minggu di Jogja dan Panggang untuk belajar bertani alami yang mandiri. Saat tinggal di Wintaos, Panggang, Nathan bersama kami di SP, terlibat dalam semua kegiatan kebun seperti mencangkul, menanam, memupuk, membersihkan rumput juga membuat kompos. Kali ini saya meminta Nathan untuk bercerita kepada kami semua tentang kondisi pertanian di Perancis dan Eropa secara umum, juga alasan dia mau belajar tentang pertanian alam dan tradisional.
Cerita Nathan dimulai dari Perang Dunia 1 dan 2 (1940-1945), saat itu ternyata  serdadu/prajurit Prancis yang dikirim berperang 90% adalah Petani. Perang banyak membunuh serdadu-serdadu itu. Setelah perang Prancis banyak kehilangan petani saat itu. Petani yang biasanya bekerja menjadi penyedia pangan sebagian besar mati di medan perang. Setelah perang usai, baru dirasakan menipisnya jumlah petani. Di lain pihak, usai perang, industri besar yang biasanya memasok senjata, gas kimia pembunuh massal, amunisi, tank, menjadi terancam kelangsungan ‘produksinya. Artinya pemilik modal dan industri tidak mendapat uang jika perang telah usai. Mereka berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang dari kelangsungan industri? Mereka mulai melirik pada masalah pangan. Karena banyak kehilangan petani saat perang, maka pekerja pertanian jauh menyusut. Sementara lahan-lahan luas pertanian butuh banyak pekerja dan petani. Rakyat juga butuh pangan. Lalu apa yang bisa dilakukan industri (ex industri perang) untuk masalah ini ? Apakah ada keuntungan bagi industri yang bisa diambil dari situasi ini?
Singkat cerita, eks industri perang ingin terlibat dalam ‘mendukung’ pertanian. Akhirnya diciptakanlah model pertanian yang syarat dengan alat, mekanisasi dan kimiawi/sintetis (intensifikasi). Dengan pertimbangan, melakukan mekanisasi pertanian, dan penggunaan pupuk/pestisida kimia akan sangat menghemat tenaga kerja/petani. Umumnya luas lahan yang biasanya dikerjakan 20 orang tenaga/petani bisa dihemat menjadi 2 orang petani. Akhirnya industri perang yang biasanya ‘melayani’ kebutuhan perang, beralih ‘melayani’ kebutuhan pertanian. Dibuatlah pestisida untuk membunuh (tumbuhan dan hewan) yang tidak diinginkan (dianggap sebagai pengganggu): aneka insektisida dan herbisida, pupuk juga dibuat pupuk kimia. Dulu mereka memproduksi tank-tank untuk perang, kini beralih membuat traktor dan mesin-mesin lain.
Termasuk pada benih, industri juga memproduksi aneka benih yang telah dimodifikasi sesuai keinginan dan kebutuhan kita. Pasar dari industri pertanian ini tidak hanya di Eropa dan Amerika, tapi meluas ke Asia dan Afrika, bahkan justru dipasarkan ke negara-negara miskin. Kapital / industri mendekati pemerintah, meminta para pemimpin negara untuk membeli produk yang ‘menjanjikan ini’. Selanjutnya untuk memudahkan akses pada petani, Industri bekerja sama dengan bank. Bank memberikan pinjaman kepada para petani untuk belanja modal usaha mereka.
Setiap mau bertani, para petani belanja, benih, pupuk, pestisida juga mesin. Petani diberikan kredit, dan harus mengangsur ke Bank setiap bulan. Sementara di pihak lain pemilik industri dan kapital besar menjadi semakin kaya dan mendapat banyak uang dari proses ini. Setelah beberapa lama berjalan, ternyata petani bukannya bertambah kaya, mereka tambah miskin karena belanja modal bertani dari hutang, mereka harus mengembalikan uang dan bunganya yang tidak sedikit. Karena jeratan hutang, banyak petani yang harus kehilangan tanah dan lahannya disita bank. Kita bisa bayangkan apa jadinya petani tanpa lahan/tanah. Kondisi ini membuat banyak petani yang mengalami stres, bahkan bunuh diri, di India ada 200.000 petani melakukan bunuh diri dalam 10 tahun. Di banyak Negara, banyak petani yang tanahnya tergadai, pergi meninggalkan desa, menuju kota. Di kota tak mudah mereka mendapat pekerjaan, akhirnya mereka menjadi bagian masalah urban. Intensifikasi pertanian juga menimbulkan sangat membuat kita bergantung pada Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dampak dari model bertani yang intensif ini kembali kepada manusia. Tanaman yang diproduksi dan dipelihara secara kimia, selain membunuh tanah, juga meracuni manusia yang memakannya. Timbul beragam penyakit akibat konsumsi makanan berpestisida dan pupuk kimia, banyak yang sakit kanker, tumor, kerusakan ginjal, jantung dll. Tanah yang dulunya secara fisik empuk dan gembur kini menjadi keras dan rusak/mati.
Nathan menambahkan, Kini kami (di Eropa) justru banyak merasakan kerugian dari dampak bertani yang katanya ‘modern’ ini. Kami berpikir dan mulai ingin kembali ke model pertanian jaman dulu yang lebih alami dan tidak merusak. Meskipun belum banyak tapi mulai ada beberapa orang yang merintis pertanian model alami ini. Di Prancis, khususnya di Paris dan di kota-kota besar lain, (hampir semua) sebagian besar bahan pangan dipasok (diimpor) dari Spanyol dan Maroko. Karena lebih murah dibanding produksi sendiri. Karena impor, kami sangat bergantung pada transportasi. Transportasi bergantung pada BBM. Jika suatu saat BBM telat dan langka tentu akan jadi masalah besar bagi orang-orang kota itu. orang-orang bisa kelaparan. Kami menjadi sangat bergantung pada industri minyak. Kini saya (Nathan) jauh-jauh ingin belajar untuk kembali bertani secara alami yang sehat dan adil bagi saya, tanah, alam dan masyarakat dunia.
Testimoni tersebut juga menggugah kami, ternyata intensifikasi pertanian yang diterapkan selama ini adalah bentuk kesalahan yang diamini banyak orang. Ada banyak ketidakadilan di dalamnya. Ketidakadilan bagi petani sendiri, karena telah dihisap oleh kapital besar, ketidakadilan bagi tanah dan alam, karena telah mengalami penyiksaan secara terus-menerus, hingga kini sekarat dan mati. Ketidakadilan itu juga kembali kepada manusia selaku konsumen yang mengonsumsi hasil pangan yang tidak sehat ini. Banyak penyakit dan penderitaan yang dihasilkan.
Cerita Nathan, menjadi refleksi bersama di pertemuan ini. Karena kerusakan akibat model pertanian intensiv ini juga dirasakan langsung oleh kita semua di sini. Di desa, kita banyak menemukan orang yang sakit kanker, ginjal dll. Tanah-tanah kita juga bertambah keras, tidak sama seperti dulu waktu bapak-bapak dan ibu-ibu masih kecil/muda. Saat itu tanah lebih gembur. Kita juga harus selalu belanja pupuk urea, bibit dll. Padahal jika kita mau kita bisa buat sendiri.
Nah, apakah kesalahan ini mau kita teruskan?
Pak Pardi menyahut: “saya merasakan sekali perubahan di lahan saya, tanah-tanah jadi atos dan keras, sebenarnya saya ingin berubah, saya ingin kembali ke system yang alami yang dipakai bapak saya, tapi kekawatiran saya jika saya kembali ke system dan cara yang alami, apakah produksi dan hasilnya bisa tetap bagus? Kami sekeluarga harus tetap makan dan anak-anak butuh sekolah. Itu yang jadi kekawatiran kami”. Semua orang Saling sahut menyahut dan ingin bicara. Pak Giyanto: “Ya..karena itu alasannya, saya juga ingin berubah, tidak Pakai urea, tapi agak berat karena kami takut peralihan ini tidak bagus hasilnya, bagaimana pangan keluarga kami nanti?” Pak Dukuh: “Kalau saya sudah mulai mengurangi sedikit demi sedikit, jadi misal, saya punya lahan 4 petak, saya mulai tidak menggunakan urea sama sekali di satu lahan saya, kemudian tahun depan di lahan berikutnya”. Pak Nyoto : “Saya juga sependapat dengan Pak Pardi, tapi saya mau berubah, saya mau berubah tapi bertahap, sedikit demi sedikit mengurangi urea dan pestisida”.
Mas Kuncoro: “Ya biasanya memang masa peralihan produksi bisa berkurang, tapi tetap ada hasil. Kita sudah membuktikannya dengan lahan yang dikelola oleh kelompok anak-anak. Mereka menanam padi, sorgum, dan umbi-umbian. Tidak ada sama sekali menggunakan pupuk kimia, apalagi pestisida, tapi hasil panen kemarin tetap bagus. Bapak-bapak sudah lihatkan lahan kebun yang di Kepuket? Jadi tetap ada hasil jika kita mau belajar, tertib dan menjadwal perlakuan dan dukungan yang harus kita berikan pada tanah. Bahkan hasil bisa lebih bagus dari pola intensif jika kita mau tertib memberikan dukungan dan menyehatkan tanahnya dulu.”
Pak Dukuh: “Iya betul, saya tetap yakin cara alami itu lebih cocok dan menghasilkan bagi kita, contohnya kita juga bisa lihat ke lahannya Mbah Suparjono dari Legundi, yang bertani organik dan tidak pakai pupuk urea sama sekali, tapi hasilnya juga bagus”.
Mas Kuncoro: “Oke... jadi bagaimana, apakah kita mau belajar untuk berubah? Jika bapak-bapak ingin belajar lebih jauh bertani secara alami saya mau menemani. Nanti kita bisa belajar membuat pupuk sendiri yang tidak harus beli, kita juga bisa mengatur pola tanam dan lain-lain. Jika bapak-bapak bersedia kita bisa belajar bersama dan memulainya, mumpung kita masih punya waktu beberapa bulan sebelum musim tanam Oktober / November tahun ini”.
Pak Pardi dan lain-lain: “Monggo saya langusng usul, saya mau belajar terus, kapan waktunya kita mulai belajar?” Akhirnya, setelah dirembug, disepakatilah waktu belajar, mulai belajar membuat pupuk organic mandiri, hari sabtu, 10 september 2016.
Bagi saya pribadi Perjalanan memang masih panjang dan berliku, tapi tiap tahapan dari proses, saya pribadi belajar banyak, dan saya menikmatinya, pun merasa bahagia menjalaninya.

1 comment:

  1. PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
    Informasi Peminjam:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com

    ReplyDelete