Saturday, August 13, 2016

Selepas Sekolah Momong dan Memasak; Fullday School untuk Siapa?


Cerita Oni : Saya mengenal Oni sejak 2010. Oni seorang anak lelaki. Saat itu usianya 12 tahun, badannya kurus, kecil dengan kulit kering kehitaman. Yang selalu ku ingat, di setiap pertemuan SP, Oni datang tak sendiri. Oni selalu menggendong gadis balita dipunggungnya. Tak butuh lama untuk menjadi akrab dengan Oni. Oni anak yang mudah akrab, dan fasih bercerita. Kemampuan verbalnya sangat baik. Gadis kecil digendongannya adalah adik sepupunya bernama pitri. Oni cerita, setelah pulang sekolah formal jam 2 siang, dia harus mengasuh pitri. Kemanapun Oni pergi pitri harus dibawa. Setelah beberapa kali saya mengunjungi rumahnya dan setelah berkawan dengannya, saya jadi tahu jika Oni dan pitri, saudara sepupu yang ditinggalkan orangtua masing-masing pergi merantau. Oni dan Pitri dititipkan pada simbok (nenek). Sehari-hari simbok bekerja sebagai buruh tani. Simbok berangkat ke ladang setelah sarapan (sekitar jam 7), dan pulang sebelum magrib. Simbok sebagai tulang punggung bagi Oni dan Pitri. Simbok bekerja keras demi menghidupi mereka bertiga. Karena simbok bekerja seharian di luar rumah, supaya bisa makan, Oni sebagai anak terbesar di rumah itu harus bisa memasak nasi, membuat oseng dari dedaunan yang dipetik dari kebun dan membuat sambal. Pulang sekolah, Oni masih harus memasak, dan menjaga Pitri. Menjelang sore simbok menugasi Oni untuk mencari kayu bakar untuk memasak dan rambanan untuk makan kambing mereka.
Cerita Yani. Setelah pulang dari Sekolah (SMP kelas 2), sekitar jam 2 siang, Yani mengasuh adik-adiknya. Yani tinggal bersama kedua orangtua kandung, dan 2 adiknya. Yani boleh bermain ke rumah teman, asal membawa 2 adiknya. Bermain juga harus usai selepas ashar. Yani harus gegenen, memasak air dan menanak nasi. Sebentar lagi mamak pulang dari ladang. Sebagai anak tertua, Yani harus menyiapkan makan malam untuk keluarga. Keluarga mereka makan 2 kali. Pagi sebelum berangkat ke sekolah/ kebun dan malam sepulang dari kebun. Selain mengurus rumah, saat libur sekolah Yani membantu mamak di kebun. Terutama saat panen kacang, jagung dan padi. Saat panen, butuh banyak tenaga. Yani juga membantu.
Kehidupan Oni dan Yani, potret perwakilan kehidupan dari anak-anak dusun Wintaos, Desa Girimulya, Panggang, Gunungkidul. Potret kehidupan anak-anak petani. Hampir semua orang tua adalah petani. Petani subsisten, bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka setahun.
Hal-hal yang menakjubkan bagi saya adalah tentang kemandirian anak-anak itu. Disuatu pertemuan, kami mengagendakan memasak bersama. Semua anak yang hadir saat itu rata-rata berusia 8-14 tahun, hampir semua bisa bekerja sama dan memasak secara mandiri dengan alat-alat dapur tradisional sederhana! Tentu hal ini menjadi luar biasa jika dibandingkan dengan kemampuan anak-anak kota sebaya mereka yang biasa hidup dilayani.
Pengamatan saya, dari sekitar 60 an anak yang pernah saya temani belajar, juga saya kenal dengan baik di desa tersebut : bahwa SEMUA anak, baik anak-anak perempuan maupun laki-laki, bisa dan terampil Gegenen (membuat api/tungku), Memasak, Mencuci Piring, Mencuci baju dan Mengasuh (adik) dan menyapu rumah rata-rata di USIA 10-an tahun! Semua ketrampilan hidup dan kemandirian tersebut didapat dari kehidupan di Rumah. Orang tua dan lingkungan social di desa yang mengajarkan mereka. Keterbatasan sumberdaya, Kehidupan yang keras, memaksa mereka belajar ketrampilan hidup.
       Kalau gakmau dan gakbisa memasak artinya gakbisa makan, karena seharian orangtua di ladang, seringkali gaksempet memasak atau belum ada yang bisa dimasak. 
       Jika mereka gak kenal dan tak bisa mengolah jenis-jenis dedaunan dan kacang-kacangan dari kebun yang bisa dimakan, mereka tidak bisa memasak. 
       Kalau sudah remaja, tapi tidak mau belajar nyuci, gak akan ada yang mencucikan baju mereka.
       Kalau tidak mau menjaga dan mengasuh adik, artinya orangtua gakbisa bekerja dan tidak ada makanan dan uang bagi mereka.
Kondisi memaksa mereka belajar banyak hal. Waktu pulang sekolah adalah Masa yang berharga. Justru mereka mendapatkan banyak pelajaran hidup dan survival saat pulang dari sekolah (formal). Bukankan selain kecakapan akademis, kecakapan dan ketrampilan hidup juga mutlak penting dimiliki di setiap individu yang ingin bertahan hidup?
Bertani di Dusun WIntaos adalah bagian dari budaya. Budaya bertani, turun temurun diwariskan dari nenek moyang jauh sebelum Indonesia ada. Dari hasil pengamatan saya, selaku proses belajar kecakapan ketrampilan bertani, SEMUA Anak dan Remaja tersebut juga bisa menggunakan dan mengoperasikan dengan baik cangkul, arit, gathul dan alat produksi pertanian yang biasa digunakan oleh orang tua bekerja di kebun. Saat masih SD dan awal SMP, saat pulang dari sekolah atau saat libur sekolah SEBAGIAN dari mereka masih mau membantu pekerjaan orang tua di ladang, mengumpulkan rabuk (kotoran ternak) , membantu panen dan mengangkut hasil panen
Tapi sekolah formal ternyata menjadi cara yang efektif untuk menjauhkan mereka dari kehidupan dan pekerjaan di ladang. Semakin tinggi kesibukan sekolah formal, semakin tidak sempat membantu pekerjaan di ladang. Semakin tinggi tingkatan sekolah, semakin gengsi bekerja di ladang. Saat sudah menjadi pelajar SMP maupun SMA/SMK, terlalu banyak beban dan kegiatan di sekolah, otomatis, semakin menjauhkan dari kehidupan bertani. 
Apalagi setelah anak remaja mengenal ragam kehidupan di luar desa, semakin enggan mereka menekuni bertani. Ragam persoalan di dunia pertanian pun semakin menyimpulkan bahwa bertani adalah pilihan yang suram. Karena tidak memiliki kedekatan emosional dengan tanah dan lahan, Setelah lulus dari SMP/SMK, sebagian besar anak Desa Girimulya memilih menjadi buruh non formal di kota (asisten RT, Baby sistter, penjaga toko, warung, buruh pabrik dan bangunan).
Saat ini di desa Girimulya pelaku pertanian rata-rata berusia 40 tahun ke atas. Anak muda semakin enggan bertani. Generasi yang lahir 1990-an jarang sekali tampak di ladang. Susah payah regenerasi petani di desa ini dan ribuan desa-desa lain. Dan persekolahan turut berkontribusi.
Ketika Pak Menteri yang baru, Prof. Muhajir Effendi , bermaksud menjadikan persekolaahan menjadi Fullday dengan alasan yang sangat Bias Kota. Saya yakin, Pak Mentri belum pernah melakukan kajian untuk inisiatif fullday tersebut. Belum pernah melihat lebih jauh kehidupan anak-anak petani di desa, anak-anak nelayan, anak-anak rimba, anak-anak bajo, dan ribuan model kehidupan di luar sekolah yang dijalani anak-anak Indonesia.
Pak menteri, Indonesia itu luas, dan beragam, tidak hanya Kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja dan Malang. Inisiatif Fullday, saya yakin akan semakin memberangus, merampas, menumpulkan banyak sekali proses belajar kehidupan dan kebudayaan bagi ribuan anak-anak. Bagi saya, Fullday otomatis segera menjadi Fool'sday. Indonesia terlalu penting untuk diseragamkan





0 comments:

Post a Comment